FENIMISME DAN CINTA: PERAN PEREMPUAN MENANGANI KETIDAKADILAN DALAM FENIMISME DAN CINTA
Agustus 18, 2021
Oleh: Clarissa Audreya Fitsy
Feminisme dan cinta adalah sebuah pembicaraan yang sering terjadi di lingkungan bermasyarakat. Walaupun feminisme sering dibicarakan tetapi masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa pemaknaan dari feminisme yang sebenarnya. Masih banyak masyarakat yang belum bisa membedakan antara gender dan jenis kelamain, mereka menganggap bahwa gender itu adalah tentnag laki-laki dan perempuan yang memiliki masing-masing peranan. Tetapi sebetulnya, gender dan jenis kelamin merupakan dua macam hal yang berbeda pemahamannya. Gender merupakan suatu hal yang berperan lebih kearah konstruksi social dimana bukan merupakan sesuatu hal yang sudah ditentukan oleh Tuhan atau tidak dapat diubah (non kodrati) perempuan dan laki-laki dapat melakukan pekerjaan apapun seperti misalnya, perempuan tidak hanya dapat bekerja di dapur tatapi apa yang dilakukan oleh lelaki, perempuan juga dapat melakukannya. Begitupun sebaliknya, laki-laki juga ada yang bisa memasak tidak hanya perempuan saja. Lalu, jika jenis kelamin merupakan suatu kodrat dari Tuhan dan tidak dapat diubah karena bersifat biologis yang dimana jenis kelamin hanya terbagi menjadi dua yaitu perempuan dan laki-laki sehingga tidak mungkin dapat berubah dan tertukar. Pada jenis kelamin isi contohnya yaitu seorang perempuan dapat melahirkan tetapi seorang laki-laki tidak bisa melakukannya karena mereka tidak memiliki kantung Rahim, dan lai-laki hanya dapat membuahi. Dari ini kita dapat menyimpulkan bahwa masih banyak masyarakat kurang memahami apa feminism itu sesungguhnya sehingga perlu pemahaman serta sosialisasi kepada piham masyarakat sehingga tidak terjadinya batasan-batasan perempuan dalam melakukan aktivitas yang akan mendapatkan sanggahan dari kelompok laki-laki sehingga menjadi tidakadanya kesetaraan gender. Fenimisme sendiri memiliki peran yaitu untuk memperjuangkan keserataan gender diranah public agar memperoleh kesamaan dan tidak membeda-bedakan dalam ranah social, tidak sedikit pula bnayak kaum perempuan yang melakukan unjuk rasa agar ksetaraan gender ini tetap ditegakkan dan adanya keadilan gender.
Soal cinta, merupakan hal yang sering kali di bicarakan oleh masyarakat terutama para anak muda bahkan dalam kesehariannya. Cinta sering kalai dimaknai sebagai pemaknaan tentang kasih sayang, selalu dikaitkan oleh hal-hal romantis antar individu maupun kelompok. Umumnya, di keseharian kita, kita selalu menemukan bermacam-macam hal yang berbentuk tentang cinta seperti menonton film dimana kita sering menemukan scenario tentang percintaan, mendengarkan ataupun memainkan music merupakan bentuk pengaspirasian cinta dalam bentuk alunan nada, bahkan pada karya seni dan sastra seperti puisi-puisi maupun tulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai bentuk penyampaian rasa cinta. Tak sedikit pula banyak yang memaknai cinta sebagai suatu kebutuhan bagi manusia dan merupakan bentuk hasrat bagi setiap personal yang menjadikan cinta sebagai suatu hal yang privat. Dalam menanggapi cinta setiap orang berbeda-beda terutama bagi kelompok perempuan, mereka menanggapi cinta sebagai bentuk kasih sayang seorang ibu dan sebagai seorang istri. Sementara menurut Jakson (1999), feminisme terkait kritik mengenai cinta bahwa cinta dipandang sebagai ideology yang melegitimasi penindasan perempuan dan membuat mereka terjebak dalam hubungan heteroseksual yang eksploitatif. Namun, cinta tidak hanya memberikan kesenangan atau kebahagiaan kepada setiap individu terkhusus kaum perempuan, cinta juga membuat perempuan menjadi lemah serta rentan tersakiti oleh laki-laki serta dianggap sebagai feminism dimana ketidaksetaraan gender membuat perempuan banyak mendapat kekerasan dan ketidaknyamanan dari penindasan gender terhadap perempuan itu (dhewy, 2018).
Feminism berasal dari kata fame yang berarti perempuan. Paham feminism ini mucul awalnya tahun 1960-an di wilayah barat dengan berbagai factor yang memicu kemunculannya. Adanya persmaaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang social-ekonomi-politik dan juga dapat dalam hal pengambilan keputusan, dalam hal ini perempuan juga bisa memiliki kekayaan ataupun penghasilan yang tidak boleh dicampur tangan oleh suami ataupun bapaknya tanpa seizinnya. Feminisme merupakan suatu konsep dimana menggambarkan tentang kesetaraan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang seperti ekonomi dan sosial politik (yeni & m.ismail, 2013). Kelompok feminism selalu menganggap bahwa perempuan selalu diasingkan oleh masyarakat yang menganut patriaki. Menurut (yeni & m.ismail, 2013) jika ingin mnegkaji tentang perempuan maka harus memahami konsep seks dan gender. Konsep seks merupakan pembagain dua jenis kelamin dan konsep gender adalah sebuah sifat yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan yang dikontribusikan secara social dan kultur seperti yang disampaikan pada paragraph pertama. Fakih (dalam Sugihastuti dan Suharto 2010:63), mengemukakan bahwa feminism bukan merupakan upaya pemberontakan kepada laki-laki, upaya perlawanan pranata social seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, maupun upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan upaya untuk mengakhiri menghindari penindasan dan eksplorasi perempuan, menurutnya gerakan feminism merupakan perjuangan dalm rangka mengubah system dan struktur social yang tidak adil menuju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan yang sejalan dengan pendapat Mantahari (dalam Sugihastuti dan Suharto 2010:253)bahwa laki-laki seharusnya mencari menjadikan perempuan sebagai pemersatu bukan sebagai memperbudak yang dapat disuruh melakuakn segala hal.
Dalam feminisme tidak perlu ada niat dalam mereproduksi diskursus ketidakseimbangan power antar perempuan dan laki-laki. Diskursus itu terbentuk dan terbentuk kembali karena kita seringkali sudah menganggapnya sebagai hal lumrah dan tanpa berniatpun kita bisa bersalah dalam mereproduksinya. Tetapi, di sisi lain, banyak ynag beranggapan bahwa feminism merupakan suatu bentuk gerakan perlawanan. Yang dimana perlawanan itu berasal dari naluri untuk berjuang melawan apapun yang mereproduksi penindasan jender, baik yang bentuknya jelas maupun tersembunyi. Tetapi tentunya seorang yang kita sayangi tidak dapat terus kita perlakukan sebagai lawan. Naluri perlawanan perlu diubah menjadi naluri pertumbuhan, dengan catatan bahwa pertumbuhan tidak sama dengan kepatuhan. Perlu kelembutan untuk bisa melihat perbedaannya – kelembutan dari kedua belah pihak. Tetapi selain kelembutan, perlu juga naluri memahami dan meyakini niat baik dari pasangan kita. Perlu kepercayaan bahwa dia tidak beropini dengan niatan melemahkan posisi kita. Tetapi kepercayaan itu tidak lantas menghilangkan kemampuan kita untuk bersikap kritis tentang perlakuan atau perkataannya yang dapat berujung melemahkan, dengan ataupun tanpa niat buruk dari dia. Bagaimanapun persoalan jender bukan perang antar perempuan dan lelaki, tetapi perang terhadap struktur patriarki yang ada. Terkadang sulit untuk menutup mata sementara terhadap manifestasi struktur dalam interaksi perempuan dan laki-laki sehingga seringkali memang terasa seakan pertengkaran antar pasangan menjadi persoalan yang melampaui kedua manusia yang terlibat. Ini adalah fase pembelajaran baru dalam identitas gue sebagai seorang perempuan dan seorang feminis: mengubah yang keras menjadi lebih lembut, naluri perlawanan menjadi pertumbuhan, dan memahami bahwa merasa benar dapat dilakukan tanpa menjadikannya salah.
0 komentar