Harapan di Tahun 2021: Semoga Tak Ada (Lagi) Penetapan Status Darurat yang Aneh-Aneh
Januari 05, 2021Oleh: Dhimas Muhammad Yasin
Image Source: Kompas.com
“Di Indonesia yang tercinta ini, hal apa yang tidak darurat?”
Waktu saya masih anak-anak, kalau dengar istilah “darurat” pasti bayangan langsung tertuju kepada rumah sakit atau bencana alam. Tapi sekarang, cobalah tengok media cetak dan media sosial. Ada Indonesia darurat utang, Indonesia darurat narkoba, Indonesia darurat korupsi, Indonesia darurat difteri, dan yang terakhir... darurat Covid-19.
Darurat yang neko neko!
Sekarang sudah muncul penetapan status darurat yang lebih variatif. Sebut saja Indonesia darurat membaca, Indonesia darurat pelakor, Indonesia darurat LGBT, Indonesia darurat insinyur milenial, dan Indonesia darurat apalah yang saya yakin sampean-sampean semua sanggup menyebutkannya lebih canggih daripada saya.
“Bahkan, yang telah dirilis akhir tahun lalu oleh Pak Lurah, ngendika bahwa Indonesia darurat akal sehat dan hati yang bersih,” tutur Pak RT dengan mimik yang agak tegang dalam sebuah angkringan.
Mendengar pernyataan tersebut, seorang pemuda yang nimbrung dalam obrolan pun tersentak, “Lo, maksudnya apa? Saya masih sehat kok! Buktinya saya masih makan tiga kali dan minum air putih sampai delapan gelas sehari. Saya rajin olahraga setiap pagi dan sore hari. Ya, memang sih, saya pernah sekali periksa ke dokter, tetapi tidak sampai dirawat inap di rumah sakit.”
Dengan napasnya yang masih terengah-engah, si pemuda kemudian melanjutan, “Oh, ya! Selain itu, saya sekolah, kuliah, bahkan mengantongi sejumlah sertifikat penghargaan dan ijazah dengan nilai-nilai yang bagus. Terlebih lagi, hati saya ini selalu miris lo menyaksikan hal-hal yang berbau api dan darah.”
Mens sana in corpore sano!
“Tapi, Dik, ngendikanipun Pak Lurah, Ada kejadian luar biasa (KLB) saat ini yaitu terbaliknya logika masyarakat.” lanjut Pak RT tanpa basa-basi.
“Masyarakat itu siapa, Pak?”
“Kalau bukan kita, siapa lagi?”
“Lo, Pak! Barusan saya sudah ngomong berjilid-jilid begitu, kok enggak diperhatikan sih? Saya ini sehat, Pak! Enggak cuma cukup, tetapi sudah sangat sehat. Apa perlu Bapak bedah isi otak dan hati saya sekalian?” ujarnya berapi-api dengan tangannya yang menggebrak-gebrak meja, sambil menunjukkan wajahnya yang merah padam.
“Lo, Mas, kamu sehat?” tanya Pak RT dengan disaksikan warga sekitar yang kebetulan melintas dan menyimak aksi pemuda itu. Seketika itu juga si pemuda langsung dievakuasi bapak-bapak angkringan menuju ke tempat yang lebih aman.
***
- Baca Juga : HARAPAN DI TAHUN 2021: SEMOGA TAK ADA (LAGI) PENETAPAN STATUS DARURAT YANG ANEH-ANEH.
- REVIEW ONCE UPON A TIME: FAIRY TALE DAN KISAHNYA YANG TAK TERDUGA.
Tuh, kan! Belum apa-apa sudah kebakaran jenggot. Jangan terburu-buru dulu, nggih! Bukankah dalam setiap penetapan status selalu diumumkan bukan tanpa alasan?
Kisah di atas setidaknya dapat memberikan gambaran yang cukup jelas. Memang menarik mencermati pernyataan Pak Lurah tersebut. Akhir-akhir ini memang betapa banyak konten hoaks dan disinformasi yang bertebaran di berbagai media sosial. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa hoaks merupakan informasi bohong, sedangkan disinformasi merupakan penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain.
Terlebih lagi, terungkapnya berita hoaks dan disinformasi yang rutin dirilis dalam laman kominfo.go.id makin menguatkan bahwa Indonesia sedang mengalami invasi akal sehat dan hati yang bersih. Belum lagi hasil rilis yang berasal dari lembaga lainnya, seperti yang dikeluarkan oleh turnbackhoax.id, cekfakta.com, detik.com, dan sebagainya.
Apakah sampean-sampean sudah membacanya?
Masih membekas dalam ingatan selama tahun 2020 lalu, aparat penegak hukum kita yang terhormat telah berhasil menindak sekitar 104 tersangka penyebar hoaks tentang Covid-19. Ya, itu baru hoaks tentang Covid-19! Belum hoaks nyeleneh lainnya. Saat itu memang sedang marak isu pandemi Covid-19 yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Namun, para pelaku ini justru menyebarkan hoaks hingga menciptakan ketakutan, keresahan, dan kekacauan kepada masyarakat yang kebanyakan tidak mengenal mereka sama sekali.
Merujuk kepada perkataan Pak Lurah, “Apa namanya kalau bukan sakit jiwa karena sukanya menggoreng isu hoaks, lalu gorengan itu dimakan. Kemudian, yang memakannya jadi ikut-ikutan menyebar hoaks?”
Mungkin saya salah. Namun, saya tiba pada suatu kesimpulan bahwa jangan-jangan para pelaku tersebut juga merupakan korban dari terpaparnya berita hoaks dan disinformasi.
Kalau memang begitu, berarti definisi sakit jiwa tidak harus dimaknai sebagai orang-orang yang biasa dirawat inap di rumah sakit jiwa atau yang dipasung di dalam rumah. Sakit jiwa dapat berarti orang-orang yang suka memakan “gorengan” hoaks, lalu makanan tersebut dijadikan sebagai energi untuk menyerang orang-orang yang dianggapnya sebagai lawan.
Hmm... saya jadi teringat sejumlah pesan Gus Dur saat membaca Nasihat-nasihat Keseharian Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun (Diva Press, 2017). Intinya, Gus Dur ngendika bahwa semua agama selalu mengajarkan kejujuran dan perdamaian. Jadi, kalau hari gini masih ada orang yang ngakunya beragama, tetapi malah menjadi muara atau hulu-hilir dari hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian. Wah, ini! Hendaknya perlu dipertanyakan dan ditadaburkan.
Bertanya dan tadabur tidak harus dialog, bermonolog dengan cermin pun juga bisa.
“Biasanya akun-akun yang membahas hal tersebut dimotori oleh beberapa akun yang sudah dikantongi oleh aparat penegak hukum. Jadi, siap-siap saja jika masih ada yang terus menyebarkan hoaks seperti itu.” wanti-wanti Pak Lurah.
Nah, ini dia pernyataan yang seharusnya menjadi semacam alarm bagi para penyebar hoaks dan disinformasi. Apalagi, merujuk kepada data Kemenkominfo bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu.
Astaga… 800 ratus ribu? Iya, sebanyak itu!
Bayangkan jika datanya mau dikalkulasikan lebih lanjut. Katakanlah jumlah penduduk Indonesia dibulatkan 260 juta lalu dibagi 800 ribu, maka hasilnya akan ketemu angka sekitar 325. Dengan kata lain, di Indonesia ini rasio situs penyebar hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian dan penduduk Indonesia adalah 1:325.
Ckckck … ngeri banget, kan?
Kalau Kemenkominfo yang mengawasi sudah punya datanya, apalagi para aparat penegak hukum yang juga menindaklanjuti.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila Pak Lurah ngendika bahwa Indonesia darurat KLB akal sehat dan hati yang bersih. Boleh jadi, orang-orang yang berhasil ditindak oleh aparat penegak hukum tadi hanyalah semacam “hidangan pembuka” dari ratusan ribu pelaku atau situs yang telah dijelaskan tadi.
Waduh, la terus bagaimana, dong? Pokoknya, terus kita dukung saja supaya para aparat penegak hukum mampu bekerja sesuai dengan visi-misinya yang sering kita dengar: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Dan kita doakan pula supaya para pelaku penyebar hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian segera memperoleh pencerahan.
Masalahnya, kapasitas penjara di Indonesia sudah makin di atas ambang batas kewajaran. Sementara itu, makin bermunculan media-media tertentu yang sekadar mengandalkan klikbait. Beragam informasi yang diproduksi pun berpotensi sarat akan berita-berita sumir serta memancing emosi para pembacanya. Hal ini mengingatkan saya pada perkataan seorang sastrawan Indonesia, Agus Noor, saat membaca promosi bukunya di akun Instagram, yang berjudul Kisah-Kisah Kecil & Ganjil (Diva Press, 2020).
“Ada tiga hal yang selalu laris kau jual: obat, ayat, dan kebohongan.”
Meskipun demikian, apakah itu berarti sebaiknya kita percaya saja kepada situs atau media mainstream? Padahal, sejak akhir tahun 2019 lalu, sudah sekitar 511 media massa di Indonesia yang sudah diverifikasi oleh Dewan Pers. Tambahan lagi, masih ada sekitar 5.663 media massa yang berduyun-duyun mengantre untuk diverifikasi.
Lalu, bagaimana cara kita menyikapinya? Ya, kembali kepada ngendikanipun Pak Lurah tadi. Selama kita selalu menggunakan akal secara sehat dan hati secara bersih, la mbok kita membaca situs-situs antimainstream, katakanlah Blogspot, WordPress, dan situs lainnya yang belum terdaftar dalam Dewan Pers, semua akan baik-baik saja. Intinya, kita harus memunculkan semacam radar atau sensor dalam diri kita. Pikiran yang sehat akan menghasilkan kesimpulan yang jernih. Perasaan yang bersih akan menghasilkan perbuatan yang welas asih.
Dan saya sangat berharap di awal tahun 2021 ini. Semoga mulai detik ini hingga detik akhir zaman, jangan sampai muncul penetapan status darurat yang aneh-aneh lagi. Darurat Covid-19 saja sudah cukup membuat kita semua, termasuk warga sedunia kelimpungan dalam segala aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, politik, sampai dengan cara pandang kita dalam menyikapi keadaan.
Jadi, sambutlah tahun baru ini dengan semangat baru untuk harapan baru!
***
Masih dalam obrolan di angkringan yang meriah itu, muncul tanggapan dari seorang pemuda lainnya yang sedang bermain-main dengan gadgetnya. Wajahnya berseri-seri, seolah-olah menyambut hujan yang telah lama dirindukan.
“Alhamdulillah, Pak RT! Vaksin Covid-19 telah tiba di Indonesia!” seru si pemuda.
“Kata siapa, Mas?” tanya Pak RT terperanjat.
“Ini... Kata salah satu media mainstream, Pak.” kata si pemuda sambil menunjukkan layar gawainya.
“Syukurlah! Berarti mulai bulan ini kita semua bakal divaksin dong!” pekik Pak RT sambil bertepuk tangan.
“Oh, maaf. Tapi bohong, Pak.”
“Lo, kok bisa? Memangnya kenapa?”
“Menurut jadwal vaksinasinya, kita-kita ini termasuk pada urutan yang terakhir, Pak. Masih lamaaa...!” seru si pemuda bertepuk jidat.
“Astagaaa...!” Pak RT terkulai, seperti bunga yang perlahan-lahan layu.
Lahir dengan nama lengkap Dhimas Muhammad Yasin. Menulis sejumlah buku sekolah, karya ilmiah, esai, puisi, cerpen, dan novel. Memperoleh sejumlah penghargaan dalam lomba menulis tingkat nasional dan internasional. Buku puisinya berjudul “Rayuan Amplop Putih” (Guepedia Publisher, 2019). Buku cerpennya berjudul “Dalam Ruang Gerhana” (Guepedia Publisher, 2019). Buku novelnya berjudul “Warsa: A Cheerful Boy” (Kindle Amazon, 2020). Kegiatan sehari-harinya bergumul dengan buku-buku pelajaran sekolah untuk SD/MI. Penulis bermukim di daerah Gumpang, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Penulis dapat dihubungi lewat FB: Dhimas Muh Yasin; IG: @dhimas.yasin; Twitter: @dhimasyasin
1 komentar
Opini khas satire begini emang jarang orang yang nulis. Sukkaaa!!!
BalasHapus