Penulis Bad-girl dan Seks Dalam Kesusasteraan Cina Kontemporer
Oktober 26, 2020Oleh: Sheren Vipta Maulidya
Tidak kalah dengan Inggris, Amerika, dan Eropa, Asia juga memiliki kesusasteraan yang luar biasa hebatnya. Terbukti dari karya-karya sastra Asia yang hadir di layar kaca dunia. Salah satunya adalah Big Breasts karya Mo Yan, penulis asal Tiongkok. Cerita-ceritanya yang selalu mengkombinasikan cerita rakyat, sejarah dan kehidupan kontemporer negaranya. Tentu saja, hal ini bisa membuat pembacanya seperti mendapat gambaran tentang kebudayaan Tiongkok itu sendiri. Sebetulnya tidak mengherankan lagi jika dalam suatu karya sastra kita dapat melihat kebudayaan dari daerah sang penulis karena karya sastra tidak dapat lepas dari budaya itu sendiri.
Berbalik ke belakang, kesusasteraan dunia khususnya kesusasteraan asia tidak luput dari proses tumbuh dan berkembang melalui periodisasi sesuai dengan keadaan yang dialami pada saat itu. Entah karena kebijakan pemerintah, kondisi ekonomi, keagamaan, perang, dan lainnya yang menjadi nutrisi sehingga sastra itu tumbuh dan berkembang dengan baik. Kita ambil contoh kesusasteraan Cina kontemporer yang tak dapat dilepaskan dari kebijakan politis pemerintah yang berkuasa. Kebijakan di suatu masa itulah yang membawa perubahan trend sastra di Cina.
Salah satu motif menonjol dalam sastra Cina kontemporer adalah cinta dan erotisme, seorang penulis wanita muda, Shelley W. Chan menekankan aspek cabul dan refleksif diri pada karyanya sehingga ia dijuluki sebagai penulis "bad-girl". Hal ini tentu bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang membatasi ruang publik bagi perempuan untuk mengkaryakan isi pemikirannya dan stigma masyarakat tentang perempuan yang baik.
Pada tahun 1979, seorang penulis bernama Zhang Jie menuliskan tulisan berjudul "Love Must Not be Forgotten" yang berkisah tentang tokoh protagonis pria dan wanita yang menderita cinta satu sama lain dan ketidakmungkinan untuk bersama, karena pria memiliki istri yang dinikahinya karena rasa tanggung jawab dan bukan untuk cinta. Jie menulis cerita ini untuk mengangkat hal tabu berupa cinta diluar pernikahan pada zaman sebelumnya. Namun tentunya kisah ini masih menggambarkan sosok perempuan yang baik, berbeda dengan "bad-girl" yang muncul beberapa tahun kemudian.
Pada tahun 2003, fenomena Mu Zimei menjadi perbincangan hangat di Cina sepanjang musim panas. Hal itu disebabkan Zimei mengungkapkan petualangan one night stand nya secara eksplisit di blog pribadinya yang selanjutnya dikumpulkan dan di terbitkan sebagai sebuah buku berjudul Ashes of love. Dari dua contoh karya di atas, kita dapat melihat bahwa ada perbedaan yang signifikan. Jie menuliskan kisah percintaan yang dalam tanpa menyentuh satu sama lain. Disini Jie menggunakan konsep cinta platonik dimana tokoh utama laki-laki dan tokoh utama perempuan saling mencintai namun ada batas yang membuat mereka tidak bisa saling memiliki. Sedangkan Zimei memberanikan diri menyuarakan apa yang ada di benaknya. Dia melepaskan diri dari kekangan aturan pemerintah dan pandangan masyarakat yang menganggap bahwa hal seperti menyuarakan identitas diri dan pandangan seksualitas adalah hal yang tidak sesuai untuk di pertontonkan atau di ketahui khalayak ramai.
Disisi lain setelah fenomena ini terjadi, banyak masyarakat yang mulai membaca karya-karya erotis dan banyak penulis mulai memberanikan diri menyuarakan imajinasi mereka tentang seksualitas dan tekstualitas dan menghasilkan karya-karya baru. Keterbukaan berpikir seperti ini menjadikan para perempuan di Cina lebih mencintai diri sendiri dan menerima setiap bagian tubuh mereka. Menanamkan dalam benak bahwa tubuh yang dimiliki adalah otoritas diri sendiri, sehingga ketika berbicara tentang tubuh perempuan bukan sebuah hal yang aneh lagi selagi si penulis mau memasukkannya ke dalam karya mereka.
Suatu kali, penulis perempuan Zhuying Qingtong mengatakan "Kenapa saya harus merasa malu? Saya mengambil poto tanpa busana karena saya tidak bisa menggambarkan kata hati saya. Saya ingin melihat bentuk tubuh saya dan membiarkan orang-orang melihatnya. Saya berpikir jika saya akan keluar dari pikiran saya suatu hari nanti dan mati karena mencintai diri saya sendiri." (Anon. 2005). Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa Qingtong sangat bangga dengan dirinya dan merasa bangga atas apa yang dia miliki. Dia sangat mencintai tubuhnya dan tidak merasa malu untuk memamerkan bentuk tubuhnya kepada publik. Dia menselebrasi rasa syukurnya melalui nude photoshoot tersebut.
Buku harian seksual online Mu Zimei dan foto telanjang Zhuying Qingtong merupakan pameran hasrat wanita yang sama sekali tidak disamarkan, yang pada gilirannya menggambarkan tubuh wanita sebagai objek hasrat pria. Pada saat yang sama, ketika tubuh laki-laki secara tradisional menjadi subjek utama kesenangan erotis, penulis "bad-girl" malah menampilkan tubuh pria sebagai objek keinginan wanita. Bahkan Zimei pernah mengatakan bahwa jika ada reporter laki-laki yang ingin mewawancarai nya, dia harus menidurinya terlebih dahulu. Seberapa lama wawancara itu berlangsung tergantung pada waktu yang mereka habiskan di ranjang (World Executive Group 2003-2007). Hal ini memperkuat bahwa perempuan bukan lagi sebagai objek seks laki-laki namun laki-laki juga sebaliknya.
Saat ini, unsur pornografi dalam kesusastraan dan seni Tiongkok hadir dalam jumlah yang besar, terlepas dari batasan moral dan peringatan tentang keinginan duniawi dalam Konfusianisme dan Budha sehingga campuran seksualitas dan tekstualitas bukan lagi hal baru bagi sejarah Tiongkok. Meskipun begitu, Oposisi tidak resmi masih terus berdatangan terutama dari ibu-ibu yang ingin melindungi anak-anak perempuan mereka, serta dari istri-istri laki-laki yang nama dan penampilannya sebagai pasangan seksual Mu Zimei muncul untuk dibahas dalam buku hariannya. Juga, pemerintah RRC yang menekan tulisan dan gambar yang bersifat menyinggung dengan berbagai cara seperti menyensor sampai dengan menghapusnya.
Sheren Vipta Maulidya
0 komentar