HUBUNGAN ABUSIVE DALAM RUMAH TANGGA
Juni 20, 2020
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU Perkawinan)
Dinamika berumah tangga merupakan hal yang wajar, lantaran rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam lingkup masyarakat terutama bagi pasangan muda-mudi yang baru menikah dan mendambakan keluarga harmonis. Dinamika dalam rumah tangga menjadi tidak wajar apabila mulai terjadi kekerasan secara verbal maupun fisik. Kekerasan dalam rumah tangga atau yang disingkat KDRT kini mulai eksis akibat membludaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (keluarga).
Dampak yang muncul dari dinamika negatif dalam rumah tangga dapat mengganggu emosional dan menyebabkan kacaunya psikologis seseorang. Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terbatas pada perempuan tetapi juga pada anak atau suami. Secara detail kekerasan dalam rumah tangga dapat mengakibatkan post-traumatic stres disorder yang merupakan ketakutan dan kondisi mental yang selalu dibayang-bayangi oleh kejadian traumatis masa lalu.
Selain itu isolasi interaksi sosial juga kerap terjadi pada korban kekerasan rumah tangga berupa rasa malu. Seperti yang disampaikan oleh Vera E. Mouradian, dari the National Violence Against Women Prevention Research Center, menyatakan, rasa bersalah dan malu juga akan dialami oleh korban, dan perasaan tersebut dapat menghalangi mereka dari interaksi sosial dan mencari bantuan. Tentu apabila dampak yang demikian terjadi akan sangat merugikan.
Demikian apabila kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada istri maka totalitas dalam menjalankan rumah tangga dan tugas sebagai seorang istri akan berkurang serta tidak maksimal. Tentu saja hal ini akan berdampak lagi kepada anak yang mungkin akan dilalaikan. Namun jika hal tersebut terjadi pada suami, tidak sedikit suami yang memilih meninggalkan rumah secara diam atau melepas tanggungjawabnya sebagai suami dikarenakan ketergangguan mental. Sebaliknya jika hal ini terjadi pada anak, maka dampak yang dirasakan akan terjadi secara berkepanjangan dan tentunya akan mengahambat pertumbuhan anak dimasa depan.
Tetapi seringkali subjek yang menjadi kekerasan dalam rumah tangga adalah istri. Dikarenakan perempuan sebagai istri memiliki daya perlawan yang sangat rendah dibanding laki-laki yang dalam hal ini adalah suami. Di Indonesia perjuangan untuk kemanusian sudah terjadi sejak lama terutama pada perempuan. Perjuangan untuk kaum perempuan sudah ada sejak era penjajahan hingga akhirnya merdeka sampai dengan reformasi di indonesia terjadi. Salah satunya adalah R.A. Kartini yang pada masa kini, Kartini menjadi sosok yang penting karena beliau adalah pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. Kartini membuka lebar-lebar pintu emansipasi bagi perempuan, yang mana pemikiran-pemikirannya masih mengakar hingga kini dikalangan masyarakat.
Dilatarbelakangi oleh Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender mulai eksis dengan berpedoman pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28G ayat (1) menentukan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi" dan pada Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan".
Dalam hal menjamin kehidupan berumah tangga lahirlah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mulai berlaku setelah diundangkan pada tanggal 22 September 2004 di Jakarta oleh Sekretaris Negara. Lahirnya UU Pengahapusan KDRT merupakan terobosan baru, yang salah satunya adalah sebagai pelaksana dari UUD Tahun 1945 untuk menjamin adanya perlindungan bagi perempuan sebagai ibu rumah tangga. Mengingat kekerasan dalam rumah tangga juga rentan terjadi pada anak, maka Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak hadir sebagai sebuah jaminan adanya perlindungan hukum bagi anak.
Hubungan rumah tangga yang abusive atau yang penuh kekerasan adalah suatu pola atau perilaku kekerasan dalam suatu hubungan rumah tangga yang digunakan untuk menguasai dan membentuk kendali terhadap pasangannya ataupun anak. Perlakuan tersebut dapat berupa ancaman, isolasi, dan intimidasi secara emosional, finansial, seksual, dan fisik. Biasanya bentuk kekerasan tersebut dapat meningkat dari waktu ke waktu, dan berubah-ubah dan dalam waktu yang berkepanjangan. Hubungan abusive dalam rumah tangga biasanya disebabkan oleh beberapa faktor unggulan yang seringkali menjadi sorotan yaitu ekonomi, ketergangguan mental dan faktor eksternal diluar rumah tangga.
Demikian dalam upaya mencegah terjadinya KDRT, maka upaya preventif yang diperlukan adalah adanya rasa saling menghargai, komunikasi timbal balik antara sesama anggota rumah tangga yaitu suami, istri dan anak. Perlunya adanya edukasi oleh lingkungan dan pemerintah mengenai bahaya KDRT dan dampak hukum yang terjadi. Dan penerapan kehidupan rumah tangga yang mengacu pada norma-norma keagamaan. Sebaliknya upaya penanganan terhadap tindakan KDRT, maka pihak-pihak diantaranya masyarakat sekitar, organisasi-organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat, dan para penegak hukum haruslah aktif dalam menindak dan memberikan keamanan bagi korban KDRT dan sebalinya korban KDRT diharapkan dapat bersinergi dalam upaya penanganan dan penegakan hukum KDRT dengan memberikan laporan dan aduan apabila telah terjadi tindak kekerasan. Selain itu penting bagi setiap orang yang akan berumah tangga untuk memahami secara detail upaya pencegahan dan penanganan secara hukum terhadap KDRT.
Suhargo |
0 komentar