TANTANGAN DALAM MENJAGA MAKNA DAN SEMANGAT HARI KARTINI
April 24, 2020
Oleh: Diana Anggraeni
(Ketua Jurusan Sastra Inggris FISIP UBB)
Sebagaimana
lazimnya tanggal 21 april pada tahun-tahun
sebelumnya yang sudah di tetapkan sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno
sebagai hari nasional, tanggal 21 April tahun ini kita kembali memperingati
hari kelahiran salah satu ikon sekaligus pahlawan emansipasi perempuan
Indonesia, yaitu Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau lebih di kenal
dengan R.A Kartini. Hal yang mungkin berbeda dari peringantan peringatan tahun
sebelumnya, tahun ini kita memperingati hari kartini di tengah pandemi
COVID-19, tanpa adanya perayaan atau perlombaan yang biasanya di lakukan anak
anak sekolah. Pun halnya dengan sejumlah daerah yang biasanya melakukan
kegiatan ceremonial atau perlombaan perlombaan unik terpaksa untuk di tiadakan
mengingat sesuai himbauan pemerintah untuk tidak terlebih dahulu berkumpul
menghadiri acara yang mendatangkan orang banyak. Meskipun begitu hal ini hendaklah
tidak mengurangi makna dari hari Kartini tersebut.
Di
tengah kesulitan dan kondisi seperti saat ini, agaknya kata-kata habis gelap
terbitlah terang merupakan kata-kata
yang relevan. Bagaimana seorang Kartini meyakini bahwa kebahagiaan akan datang setelah
adanya kesengsaraan bisa
kita yakini juga dengan optimisnya kita untuk mampu
melalui masa sulit yang terjadi sekarang. Perjuangan
seorang Kartini
dalam memperjuangkan kesetaraan bagi kaum perempuan Indonesia di tengah
kungkungan adat yang mengekang dan mencengkram hak-hak kaum perempuan
untuk setara dengan laki-laki
patut dan harus hidup abadi di sanubari perempuan Indonesia.
Bentuk-bentuk ketidaksetaraan terhadap
perempuan telah mengalami sejarah yang panjang. Stigma masyarakat terhadap
perempuan sebagai objek pemuas nafsu atau perempuan harusnya hanya bekerja di
ranah domestik;
sumur, kasur dan dapur yang mengakar menjadi salah satu alasan kenapa sulit membentuk kesetaraan. Apapun bentuknya, penindasan dan ketidaksetaraan
akan tetap ada pada tiap zaman. Bentuk-bentuk
ketidaksetaraan padan zaman Kartini masih hidup mungkin terlihat jelas pada kungkungan
adat yang mengekang, pelarangan kaum perempuan untuk memperoleh dan mengenyam
pendidikan, ketidakbebasan dalam menentukan pilihan pasangan hidup atau
bagaimana tidak memungkinkannya perempuan untuk bekerja di ranah publik dan
meperoleh status sebagai pemimpin yang jelas berbeda sekali dengan kaum laki
laki yang bebas menentukan dan memperoleh itu semua. Hal yang sekarang mungkin kita akan jarang
sekali melihat kasus di masyrakat di
mana
perempuan di larang untuk mengenyam pendidikan atau dilarangnya perempuan untuk
memperoleh status kepemimpinan di ranah publik. Akan tetapi jarang dilihat bukan berarti tidak ada
penindasan dalam bentuk lain bukan? Seolah-olah
ketidaksetaraan dan bentuk penindasan sudah tidak terjadi lagi, padahal nyatanya
mungkin hanya kita yang tidak peka dan tidak mau peka terhadap hal ini. Kalau
kita mau sedikit saja membuka mata dan peka akan keadaan sekitar sebenarnya
masih banyak bentuk ketidaksetaraan yang terjadi terhadap kaum perempuan.
Mirisnya
bentuk penindasan di zaman modern ini tidak hanya di lakukan oleh stigma
masyrakat umum terhadap perempuan itu sendiri ataupun bentuk penindasan oleh
nilai-nilai patriarki.
Kadangkala seringkali kita lihat perempuan satu dengan perempuan lainnya
melakukan body shaming atau memberikan
komentar dan omongan negatif yang menjurus ke hal hal fisik. Pemikiran dan
anggapan bahwa perempuan harusalah memiliki tubuh yang langsing, cantik, putih
dan standar ideal lainnya sekarang tidak hanya di lontarkan oleh laki laki tapi
juga oleh perempuan ke perempuan lainnya. Kalau anatara satu perempuan dan
perempuan lainnya masih sering saling tindas,
bagaimana hendak melawan
stigma masyrakat terhadap perempuan dan terhadap nilai nilai patriarki? Adanya fenomena standar
ideal seperti ini memunculkan kesan kalau perempuan yang tidak sesuai dan tidak
masuk karakteristik standar tersebut akan di anggap tidak layak sehingga
memunculkan konflik antar perempuan.
Hal-hal ini yang kemudian
menjadi tantangan bagi seluruh perempuan Indonesia untuk terus berjuang dalam
mempertahankan apa yang telah Ibu kita Kartini perjuangkan. Terlebih lagi salah
satu bentuk pembangunan yang sifatnya berkelanjutan adalah memberdayakan
perempuan. Selamat hari Kartini untuk seluruh masyarakat dan perempuan
Indonesia.
-----------------------------------
Diana Anggraeni. Berprofesi sebagai dosen tetap Sastra Inggris FISIP Universitas Bangka
Belitung yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Jurusan di jurusan yang
sama. Merupakan produk asli Universitas Padjajaran, karena mulai dari Sarjana
hingga Doktornya diselesaikan di sana.
0 komentar