Menelanjangi cerpen Seorang Wanita dengan Parfum Obsession Karya Seno Gumira Ajidarma
April 25, 2020
Oleh: Diyah Ayu Puspitaningtyas
(Pengajar di Pusat Bahasa Universitas Gadjah Mada)
Image Source: sukab.wordpress.com
Seno Gumira Ajidarma merupakan sesosok
penulis yang sudah tidak asing lagi di jagad dunia sastra. Ia dilahirkan di Boston, Amerika Serikat pada 19 Juni
tahun 1958, merupakan putra dari Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, seorang guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada.
Namun ternyata pemikiran dan cara pandang terhadap kehidupannya jauh berbeda
dengan sang ayah. Seno memilih menekuni dunia literatur dengan menulis fiksi, nonfiksi, dan juga skenario untuk
film, panggung, maupun komik. Menjadi wartawan sejak 1977. Selain itu karirnya
untuk Gramedia Majalah dimulai sejak 1985. Adapun kegiatannya selain menulis
yaitu memotret, berpameran dan mengajar di Fakultas Film dan Televisi IKJ
maupun Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. (Ninuk : 163)
Seno mendapatkan prestasi sekaligus sorotan yang
luar biasa atas karya-karyanya di bidang penulisan cerita pendek. Ia mendapat
penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian (1977),
dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda (1980) dan Cermin (1980, dari
harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express (1990) dan Pelajaran Mengarang
(1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga Emas (1991).
Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Saksi Mata (1995) dan
Penghargaan South East Asia (S.E.A.) Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang
Mennyanyi di Kamar Mandi (1997). “Seorang Wanita dengan Parfum Obsession”
merupakan salah satu karya agungnya. Karya-karyanya seringkali menggelitik
dengan cara-cara yang sederhana namun sarat makna.
Tokoh Lelaki dan Hasrat Pengarang
Di dalam buku Poststructuralism : A Very Short Introduction yang diterbitkan
tahun 2002, Besley menjelaskan bahwa menurut Lacan manusia adalah sebuah organisme
di dalam budaya. Kita mulai menjadi subjek dengan cara mempelajari kemudian
menginternalisasikan kebudayaan yang ada di sekitar kita. Proses ini mulai kita
lakukan semenjak kita terlahir di dunia dan mulai mengenal bahasa. Dari sini
lah kita mengenali petanda dan penanda sehingga dapat mengungkapkan apa yang
kita inginkan alih-alih menangis mencari-cari bantuan yang tak kunjung datang.
Salah satu ajaran lacanian mengungkapkan
bahwa subjektivitas sepenuhnya bersifat relasional; subjektivitas hanya dapat
dimunculkan melalui prinsip diferensiasi, yaitu melalui oposisi dengan liyan.
Dapat juga dikatakan bahwa subjektivitas bukanlah esensi melainkan rangkaian
hubungan. Selanjutnya, subjektivitas hanya dapat dimunculkan melalui aktivasi sistem
penanda yang telah ada lebih dahulu sebelum individu. (Sarup : 30)
“Seorang
Wanita dengan Parfum Obsession” adalah cerita berbingkai, yaitu cerita yang mengandung cerita di
dalamnya. Tokoh utamanya seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya pada
mulanya menerima telepon dari seseorang yang pada saat itu salah menekan nomor
telepon meskipun kelak mereka berdua menjalin cinta juga. Sosok lelaki ini
harus mencari cermin-cermin atau citra diri untuk diidentifikasi bagi dirinya.
Pada peristiwa ini, perempuan yang sedang berbincang lewat telepon merupakan
representasi liyan yang dibutuhkan oleh tokoh laki-lakinya.
Sahibul Hikayat, Calvin Klein jatuh cinta
sampai termehek-mehek kepada seorang wanita yang kelak akan menjadi istrinya.
Untuk menuntaskan perasaanya, diciptakanlah olehnya parfum bernama Obsession.
Maksudnya, barangkali, kalau ia tak bisa mengawini wanita itu, lebih baik mati.
Wanita itu menjadi obsesi baginya.
Cerita berbingkai ini diawali dengan
penceritaan sosok terkenal pencipta parfum bernama Calvin Klein. ‘parfum’ itu
sendiri menjadi metonimi sebagai ‘wewangian’, suatu zat yang mengesankan wangi
dan mewah meskipun tetap saja bersifat artifisial dan sementara. Sedangkan kata
‘obsession’ berasal dari Bahasa Inggris yang berarti obsesi, menurut KBBI
berarti; gangguan jiwa berupa pikiran yang
selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan.
Dalam pembentukan ego,
penanda-penanda identitas yang melekat pada ‘parfum’ dan ‘obsession’ adalah dua
petunjuk penting di awal cerita sebagai penggambaran identitas diri si pengarang,
yaitu dapat mengimplikasikan kehidupan yang berada di daerah perkotaan dengan gaya
hidup yang duniawi, memiliki selera yang baik untuk parfum yang sejatinya
merupakan kebutuhan mewah bagi sebagian orang. Pada tahap ini mulai terbentuk
pemetaan lingkungan gaya hidup karakter tokoh si lelaki. Selanjutnya, penjabaran
mengenai ‘obsession’ masih diteruskan dengan melibatkan tokoh wanita dengan
parfum obsession:
“Kalau aku jatuh cinta pada seorang lelaki,
siapapun dia, aku akan berusaha mendapatkanya, dengan segala cara. Aku bukan
seorang wanita yang menunggu siapapun yang melamarku. Aku tidak merasa bersalah
untuk menyerbu lelaki yang kucintai, apapun kata orang. Aku akan menyatakan
dengan segala cara, bahwa aku mencintai dan menghendakinya – kalau tidak suka
caraku, bilang saja, aku akan menjauh. Sampai ada lelaki lain yang menarik
hatiku.”
Pada bagian ini mulai dimunculkan tokoh
wanita dengan parfum obsession yang diceritakan oleh tokoh lelaki dalam cerita
ini. Penanda-penanda yang melekat dalam tokoh wanita dengan parfum obsession
barangkali merupakan citra ego yang cukup ideal bagi subjek, seperti cinta, berusaha, menyerbu adalah
metafora bagi optimism, upaya dan kepercayaan diri. Secara metonimia,
penanda-penanda tersebut dapat menjadi pengganti penanda ‘agresif’, ‘nafsu’,
‘obsesi’, ‘ambisi’ dan sebagainya. Beberapa penanda ini ideal untuk kemudian
dapat ditransformasikan ke dalam diri tokoh lelaki. Hal ini dapat dilihat dari
kehidupan sehari-hari tokoh lelaki yang terkesan menghindari urusan cinta dengan
komitmen rumit namun selalu merasa tertantang dan meladeni setiap kali ada wanita
yang datang.
Selalu ada yang melatarbelakangi kemunculan
hasrat. Apabila dilihat dari fase cermin ini, yang mana citraannya sebagai
cermin dari tokoh lelaki adalah wanita dengan parfum obsession apabila ditinjau
secara metaforik diibaratkan sebagai hasrat ‘obsesi’. Hasrat si tokoh lelaki
barangkali juga merupakan hasrat orang lain, dalam hal ini diduga sebagai
hasrat pengarang yaitu SGA.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
bahasa menjadi sangat penting dalam upaya menemukan diri sebagai subjek yang
pada hakekatnya merupakan organisme dari sebuah kebudayaan dan masyarakat. Di
sini bahasa semakin nampak peranannya. Kembali kepada penanda-penanda identitas
diri wanita dengan parfum obsession antara lain ; ‘agresif’, ‘nafsu’, ‘obsesi’
ternyata kemudian dapat memicu perasaan kekurangan (lack) pada diri tokoh lelaki dengan asumsi bahwa apabila tokoh
lelaki itu sanggup mengakuisisi penanda-penanda identitas yang terdapat pada
diri wanita dengan parfum obsesission , subjek mengira akan mendapatkan
pemenuhan diri atas kekurangannya. Agar dapat pengakuan atas kehadirannya dalam
masyarakat, khususnya dalam kasus ini adalah masyarakat kota atau sering juga
disebut masyarakat urban, tokoh lelaki ini kemudian menyiratkan dan kemudian
menginternalisasi hasrat yang barangkali bukan hasrat miliknya sendiri secara
orisinil. Dalam hal ini menjadi orang yang memiliki ‘obsesi’ barangkali dapat
dianggap hal yang krusial dan utama di lingkungan hidup perkotaan yang dinamis
dengan daya saing tinggi. Hasrat ini tak lain adalah suatu bentuk usaha untuk
merujuk kembali kepada yang nyata.
Lacan memberikan tiga konsep, yaitu kebutuhan
(need), permintaan (demand) dan hasrat (desire). Kebutuhan (need) adalah saat di mana setiap kebutuhan anak
atau bayi dapat dipenuhi. Sedangkan permintaan (demand) adalah saat di mana
bayi atau anak mulai menuntut dan meminta yang tidak ada, yang sukar dipenuhi. Sementara
hasrat diumpamakan seperti bahasa, yang selalu merujuk kepada hal lain dan
tidak pernah mengalami arti pemenuhan yang sempurna. Dalam cerpen ini, cinta
adalah sesuatu yang diminta dan diinginkan oleh subjek. Hal ini dapat dilihat
dari penggalan berikut:
“Kita harus berpisah, kita tidak punya masa depan,” begitulah kalimat
itu selalu.
“Apakah suatu hubungan tidak ada artinya,
meski tidak akan menjadi apa-apa?”
“Kamu sangat berarti bagiku, tapi untuk apa semua ini, untuk apa ?”
Aku sudah capek dengan perdebatan semacam itu. Aku ingin babak-babak
kehidupan semacam itu berlalu dengan cepat. Kenyataanya, babak-babak semacam
itu selalu datang lagi, nyaris seperti adegan ulangan. Toh, begitulah,
perpisahan tidak pernah menjadi mudah. Kupandang ular-ular yang bergeliatan di
kepalanya. Aku akan kehilangan ular-ular itu.
Pada
tahap ini si tokoh lelaki mulai memiliki permintaannya yaitu cinta yang
ternyata bukan hanya sebentuk ‘ambisi’,’obsesi’ dan ‘badaniah’. Karena
barangkali petanda-petanda semacam ini juga dapat menjadi metonimi dari
‘tamak’, ‘serakah’, ‘penuntut’ dan sebagainya. Secara jelas, subjek menghindari
hal-hal yang bersifat terlalu menguasai dan menuntut atas dirinya. Nampak
seperti pernyataan Lacan bahwa apa yang di minta oleh bayi atau anak adalah apa
yang tidak diberikan kepadanya. Kemudian upaya pencapaian atas keinginan atau
hasratnya yaitu cinta pada usahanya yang pertama ini tidak dapat mencapai
kepuasan yang tokoh inginkan, maka hasratnya merujuk lagi kepada hal lain yang
harapannya dapat memuaskan tokoh atau menjadikannya penuh. Dapat dilihat pada
bagian berikut:
Untunglah. Untunglah aku tidak pernah mencintainya – dan tidak mungkin:
karena hatiku sudah kuberikan untuk seorang wanita berparfum True Love.
Pada
bagian ini si tokoh lelaki menandaskan bahwa ia mencari dan menginginkan
seorang wanita dengan parfum True Love yang dalam Bahasa Indonesia berarti
cinta sejati. Tidak pernah dijelaskan apakah sosok ini benar-benar ada dan
ditemukan oleh si tokoh lelaki namun dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha
penmenuhan hasrat selalu mengalami perjalanan yang panjang dalam rangka
mendapatkan yang dapat memuaskan pengarang, meskipun hal ini niscaya mustahil.
Dapat dikatakan bahwa hasrat Seno yang
tertuang lewat tokoh si lelaki adalah mendapatkan cinta yang sejati, ‘True Love’ yang bukan hanya melulu
tentang ‘obsesi’, ‘badaniah’ dan ‘agresif’ barangkali cinta yang ditawarkan
oleh wanita berparfum obsession akan lebih umum dijumpai di lingkungan
perkotaan seperti kota yang ditinggali si pengarang yaitu Jakarta. Menjadi
cerminan pertama yang kemudian tidak membuatnya berhenti mencari hasrat dan
permintaan dalam dirinya yang begitu sukar di dapatkan dari kehidupannya,
seorang wanita dengan parfum ‘True Love’. Seorang wanita yang memiliki cinta
sejati yang barngkali memiliki penanda-penanda kualitas identitas yang
berkebalikan dengan wanita dengan parfum obsession misalnya
‘penyayang’,’lemah-lembut’ dan ‘tidak menuntut’ menjadi hal yang diinginkan dan
dihasrati olehnya.
-----------------------------------
BIODATA PENULIS
Diyah Ayu Puspitaningtyas. Sedikit baca,
banyak ceramahnya. Saat ini sedang berprofesi sebagai pengajar di Pusat Bahasa
UGM yang menggemari film, musik dan buku.
0 komentar