Makan Malam di Florence
April 16, 2020
(Mahasiswi Ilmu Politik UBB)
Aroma
tanah, angin dan matahari di
sini
mengingatkanku pada kemeja merah tua yang berkibar di sela angin kala itu. Tidak
peduli seberapa banyak aku mencabuti rumput liar halaman depan rumahku, mereka akan terus tumbuh seperti
kekhawatiranku.
Semua
wanita mungkin pernah berfantasi tentang lelaki ideal mereka, begitupun aku. dan
melihat lelaki itu rasanya seperti melihat kebun buah di surga dengan langit
biru yang berkilau, aku sadar hatiku tenggelam. Aku terus menentang pada diriku
sendiri, aku mencoba membunuh pandang mataku pada lelaki yang aku sendiri
benar-benar tidak tahu, aku takut jika terus mengingatnya, jangankan mengingat,
bermimpi tentangnya saja mungkin aku sudah berdosa.
***
Pada
jam makan malam di sebuah restoran lama di Florence, aku sudah duduk di pojokan. aku yang tidak
suka berada terlalu dekat dengan orang banyak seperti biasa lebih sering menghabiskan satu piring antipasto toscano dengan sebotol lacryma
christi. potongan kecil roti tuscan dengan saus dan pursees ini sudah cukup mengisi perutku,
apalagi dengan sebotol minuman rasa anggur khas Italia juga aroma ceri dan plum sudah cukup memberi kenikmatan
bagiku, beginilah cara wanita berusia seperempat abad ini menikmati hidup,
sederhana dan tidak merepotkan.
Aku
menghabiskan seluruh usia mudaku untuk mengejar impian, aku terlalu bodoh untuk
urusan percintaan. Ibuku selalu berkata “bersabarlah sebentar ombak akan
tenang”, “perihnya akan berakhir semenit lagi”, “wajahmu cantik nak, maka
hatimu harus lebih cantik”. Begitulah ibuku aku selalu suka hal apapun tentang
ibuku, wanita keturunan darah jawa ini segala perkataanya terdengar suci dan
menenangkan, seperti ayat-ayat keagamaan.
Bayanganku terhadap ibuku seketika mengabur lelaki itu berjalan memasuki
restoran tempatku makan, sungguh nyata ia membuka pintu restoran dan melangkah
pada arah di mana
aku berada, dan aku hampir gila
rasanya, jantungku berdetak tak
beraturan hanya karena menyaksikan lelaki itu memasuki restoran. Sebotol anggur kusodorkan
ke mulutku dan memaksa
untuk terus meneguknya, tadinya plum
anggur terasa sedikit pedas kini berubah membakar seluruh dadaku “ahh!” aku memang sudah gila,
dalam pikirku. Lelaki itu duduk di meja nomor 23 sedang aku di meja 22, Ya! Lelaki
itu sudah duduk tepat di
depan
mejaku, lelaki itu sendirian dan tadinya menjinjing tas
hitam di tangan kanan dan jas hitam keabu-abuan di tangan kirinya, sekarang ia
duduk berdampingan dengan barang bawaannya itu, tepat didepan meja setelahku.
Lelaki itu bertanya pada pelayan resto “Quali
sono le specialità di oggi?”, lelaki itu bertanya hidangan sepesial hari
ini. ya Tuhan kaki panjang dengan postur dada yang tegap, juga alisnya yang
tebal, sedikit rambut di wajah, di tambah suaranya yang berat dan dalam aku
rasa ini terlalu tampan untuk ukuran seorang manusia, ya tuhan segala ciptaan
sedang dalam kekacauan, pikiranku kacau!
Waktu
berjalan lebih cepat dari yang diperkirakan, malam sudah menunjukan pukul 23.00
aku harus pulang, dengan begitu aku membayar semua hidangan makan malamku dan
bersegera membuka pintu resto untuk keluar.
Lampu
terasku berkedip, sebelum masuk kedalam rumah aku masih berdiri di depan pagar
rumah sambil menatapi langit, dari kejauhan aku melihat lelaki berjalan
menelusuri lorong jalan dekat restoran, ia tampak berhenti dipertengahan jalan, aku kira sesuatu telah
terjadi. Kaki ku ingin beranjak pergi dan melihat tapi aku rasa ini terlalu
berbahaya pada orang yang belum aku kenal, tidak mudah bagi seorang wanita
untuk berjalan kesana kemari di malam hari apalagi di negeri orang. Lantas
mataku tidak juga lepas dari pandangan di jalanan bawah sana, rupanya lelaki
itu sedang asik memberi makan, lelaki itu sedang mengasihani kucing kelaparan
dijalanan, aku kira lelaki itu menjadi wajah paling dermawan kedua setelah
ibuku didunia ini, sangat jaramg sekali pemandangan seperti ini kujumpai, dari
kejauhan aku terus memperhatikannya.
***
Pagi
ini rencananya aku mau lari di seputaran jalan rumahku, aku harus rajin
olahraga aku harus menjaga bentuk tubuhku, ya aku tau itu. Dan entah sudah
pernah berbuat kebaikan apa tuhan mengabulkan satu pintaku, aku menemukan kartu
tanda pengenal lelaki itu, namanya tertulis sebagai Artur Euler, pria berkebangsaan swiss. Aku
mengira ia pribumi itali, sebab mendengar ia berbicara yang meski hanya sepatah
kata waktu itu kedengarannya sangat jelas dan fasih sekali, pengucapannya sudah
seperti pribumi sini saja.
Satu
hal penting yang membuat aku setengah mati penasaran, dan kali ini terjawab.
Artur Euler pria berkebangsaan swiss, mahasiswa pasca sarjana di Sapienza University, dengan program studi yang
sedang dijalaninya aku semakin yakin dengan impianku yang melangit ini. Aku
harus membaca banyak buku lagi, aku ingin mempelajari paragraf yang membuat
hatinya juga berdebar.
---------------------------------
BIODATA PENULIS
Ragil Fitri Rahayu, seorang mahasiswi yang selalu bingung saat
di tanya cita-cita, dari hari ke hari cita-citaku masih berubah ubah
dari menjadi dosen, konsultan politik, ibu kemenkumham hingga sekarang
pengin jadi queen of the moon saja, gak tau besoknya mau jadi apalagi,
salam kritis dan penuh cinta sekian Terimakasih.
Ig: @rglftrr
0 komentar