Sensei wa Hanabi
Maret 16, 2020
Oleh: Efa Devia Permatasari
(Asisten Laboratorium Sastra Inggris UBB)
Berapa
kalipun dia bersentuhan dengan perempuan lain, aku tetap mencintainya. Seperti apapun
perlakuannya padaku, aku
tetap mencintainya. Seberapa jarang pun
kami bertemu, aku
tetap merindukanya. Sejauh apapun
raganya, bayangannya tetap bersamaku. Sesulit apa pun melihat senyumnya, aku selalu tersenyum
olehnya. Sebuta apa pun dia melihatku, aku
selalu melihatnya dimana-mana. aku
mencintai orangnya, bukan tingkah lakunya. Bisa kau katakan bahwa aku sudah lumpuh oleh
cinta, namun dapat ku pastikan bahwa air mataku bukan air mata buaya. Saat
sakitnya melihat dia bercanda tawa dengan perempuan lain.
Profesinya
adalah seorang pengajar yang memang seharusnya ramah terhadap semua siswanya,
namun kau tahu sendiri bahwa beberapa cinta melarang sesuatu yang dicintainya
untuk dekat dengan orang lain. Aku egois, karena air mataku tidak dapat kuatur
secara manual untuk tidak menangisi sesuatu yang sepele. Apa salahnya jika dia
hanya berbicara begitu bahagia dengan orang lain. Otakku yang rendah, tidak
sebanding dengan lawan bicaranya yang memiliki pengetahuan untuk bisa berbicara
dengan dia, orang kucintai. Aku sangat ingin berbicara dengannya meskipun hanya
satu kali. Kesempatan seperti
itu selalu kutunggu, namun
belum kuraih saat ini dan tak jelas akankah ada khayalanku yang nyata. Dia
adalah orang yang masih
kucintai sampai pada saat aku
menuliskan cerita ini dengan air mata. Tanganku begitu lincahnya menceritakan
isi hatiku yang selama ini hanya kupendam dalam hati dan kukumpulkan dalam otak
kecilku. Usianya tidak masalah bagiku, rupanya tidak begitu luar biasa tampan,
kami pun sangat jarang berkomunikasi, namun sifatnya yang misterius membuatku
semakin penasaran terhadapnya.
Entah
Tuhan yang mana yang kami sembah, namun harapanku satu tentang dirinya; aku ingin bersamanya
jika itu adalah hal yang terbaik menurut Tuhan untuk hidupku. Kau tahu? Saat
ini dia sedang mempersiapkan diri untuk pergi jauh dariku, bukan untuk sengaja
menjauh. Dia sangat mencintai pendidikan, dia akan melanjutkan studinya ke luar negeri.
Hem... kadang Aku merasa konyol, jarak di antara kami yang masih dapat di tempuh
dalam hitungan menit pun masih sulit untuk kami saling menyatukan kedua telapak
tangan. Lalu, bagaimana dengan jarak yang semakin
memperjauh batas
diantara kami.
Disini,
Akulah tokoh utama yang memainkan peranku sendiri yang dimana lawan mainku
tidak mau kuajak bersandiwara. Cinta bertepuk sebelah tangan, itulah yang biasa
di katakan orang-orang yang berperan sendiri dalam dramanya.
“Kau
tahu kan, usia kalian berbeda jauh?” seorang teman berkata padaku.
“Iya,
Aku tahu, namun usia seharusnya tidak membatasi seseorang untuk mencintai”,
jawabku yakin.
“Lalu,
apa alasanmu menyukainya, sedangkan disana masih banyak laki-laki lain yang
lebih sebaya denganmu” dia terus meragukanku.
“Iya,
banyak laki-laki diluar sana yang sebaya denganku, namun aku tidak pernah
mencintai seseorang sebodoh ini sebelumnya”. Balasku.
Untuk
apa aku mencintai laki-laki
diluar sana jika sekarang yang sedang kucintai adalah dia. Kenapa aku harus mencintai
laki-laki diluar sana yang tidak mencintaiku? Bukankah itu sama saja dengan
kondisiku sekarang dalam cinta yang tak terbalas. Soal usia juga dikritik,
bagiku` “jika
beberapa ahli cinta mengatakan bahwa cinta hanya bertahan selama 4 tahun dalam
sebuah pernikahan, maka aku
lebih baik menikahinya ketika ia semakin tua dan aku menjadi semakin dewasa agar 4 tahun
yang mereka katakan dapat kurasakan diakhir-akhir hayatku”.
Ada
satu hal yang membuatku jengkel dan cemburu. Nampaknya seseorang yang satu
profesi dengannya menyukainya, walaupun itu hanya sekedar rasa naluri
cemburuku. Perih, ketika melihat dia berboncengan dengan teman perempuan satu
profesinya yang sangat nampak dekat dengannya bahkan di sosial media bertebaran
foto-foto mereka berdua. Entah nyamuk itu yang datang untuk menghisap darahnya
atau dia ynag tidak sengaja datang ke hutan dan bertemu dengan nyamuk itu. Aku
benci perempuan itu, sama halnya jika aku
yang menjadi nyamuk maka perempuan itu akan berusaha membunuhku untuk menjauhkanku dari makanannya.
Seleraku
terlalu tinggi untuk mencintainya dengan otak udangku. Aku hanya punya rasa
yang dibilang cinta dan perhatian yang diluar nalar terhadapnya. Hobinya
menjadi hobiku, kesukaannya
menjadi kesukaanku, namun cintanya bukan untukku. Kuharap perasaan ini akan
pergi dan bisa membiarkanku lepas dari rasa bersalah karena mencintai dia tanpa
izin. Menurut kalian, apa aku
salah? Atau aku
kurang ajar telah mencintai pengajarku sendiri? Ada banyak hal ingin ku ceritakan,
meski harus mengungkit duka namun ada suka yang kukenang selama mencintai dia.
Aku akan menceritakan bagaimana aku
bisa mencintainya dengan seberkas senyumnya, sebatang korek api, selembut
tangannya, seberapa misteriusnya, dan seberapa luka dan lika-liku rasaku untuk
bertahan pada orang ini.
BIODATA
PENULIS
Efa Devia Permatasari,
seorang mahasiswi Sastra Inggris Universitas Bangka Belitung yang gemar
membaca komik dan cerita gambar. Selain itu menjadi seorang mahasiswi,
Ia juga merupakan Asisten Laboratorium Sastra Inggris. Kini, Ia sekarang
bermukim
di Desa Balun Ijuk, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka,
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
1 komentar
Sebuah cerpen yang sungguh menggugah hati dan menenggelamkan saya ke dalam perasaan penulis.
BalasHapus