PULANG KE RAHIM IBU
Maret 24, 2020
Oleh: An’nisa
Safitri
(Duta Bahasa Babel 2019 dan Mahasiswi Universitas Indonesia)
Ini
memang sudah larut malam. Buah baobab sudah mekar dan meninggalkan kantong
hitam besar di mataku. Biarlah, sekali-kali biar ku paksa neuron otak untuk
menuliskan melodi kerinduan kepada mereka yang hidup di rahim ibu. Aku
merantau-jauh dan merasa terasingkan. Aku teringat Ibu. Ia perempuan yang
tangguh.
Ibu
pernah berkata bahwa tanaman pandai menyimpan rahasia. Kata Ibu, teratai adalah
salah satunya. Aku sering berjumpa dengan Nymphaea
alba --ia tumbuh subur di lumpur dan air, namun ia tak pernah tenggelam.
Bunga yang selalu tabah dan memancarkan pesonanya tanpa di pengaruhi oleh
lingkungannya. Teratai adalah –Ibuku.
Ayah
selalu menikmati secangkir “ramuan ajaib” Ibu setiap pagi. Ramuan ajaib yang
sebenarnya adalah teh hijau yang disugguhkan dengan cinta. Kata Ibu, teh adalah
miniatur deskripsi hidup.
Neuron
otakku mengingat perbincangan pagi hari, beberapa jam sebelum aku melangkah keluar
dari kerlap-kerlip kota dan menetap menjadi minoritas di desa kecil Pulau
Timah.
“Teh. Campuran
Homogen,” kata Ibu mengawali perbincangan pagi itu. “Anggap saja bahwa teh dengan gula di dasar
gelasnya adalah permasalahan dan sebuah solusi.”
Ia
meneguk teh hijau dan melanjutkan, “
Ketika kau membiarkan untuk tidak mengaduk gula didasarnya, teh terasa pahit.
Namun jika kau mengaduk gula didasarnya, rasa manis akan menyelimuti lidahmu.
Seperti itulah kehidupan, layaknya teh dan gula.”
“Kau yang memutuskan
untuk menjadi minoritas disana, Meta. Bermetamorfosis lah-seperti namamu.”
Benar. Aku harus
bermetamorfosis, menjadi Meta yang pandai beradaptasi dengan lingkungannya.
Seperti hewan yang pandai berkamuflase agar lolos dari seleksi alam.
***
Ibu,
merindukanmu adalah salah satu daftar wajib yang selalu kulekatkan --di meja
belajar, disamping tempat tidur, di dinding-ataupun di hati.
Ibu,
aku muak melihat beberapa kertas kosong di sudut meja. Mereka tergeletak begitu
saja. Teman-temanku tak ada yang tertarik untuk mengambilnya, mencoretnya,
ataupun sekadar menuliskan surat-surat untuk orangtua mereka. Aku paham bahwa
orangtua akan begitu senang menerima tulisan tangan anak mereka daripada harus
memaksa otak untuk melihat bagaimana politik bekerja. Tapi, sungguh Ibu, Kaulah
yang membuatku untuk menyelam lebih dalam di lautan ganas --kita menyebutnya
politik.
Jujur
Ibu, terkadang aku muak menjadi anak politik, Aku ingin merajut kata, seperti
Ayah. Kemudian neuron otak memaksaku untuk menuliskan berlembar-lembar surat
kepadamu, menyampaikan kerinduan bahwa kau dan aku adalah resiprokal. Aku dan
Politik adalah resiprokal- bukan paradoks.
Resiprokal.
Ibu, aku merasa bahwa
itu merupakan kata-kata yang pantas untuk mengawali surat ini. Respirokral
dunia tiga sisi. Demokrasi benar-benar dijunjung di sini, Ibu. Tapi, kami
selalu mengunci mulut, takut untuk berbicara. Asal kau tahu Ibu, dinding
belakang asrama menjadi pelampiasan kami. Banyak teman-temanku yang tiba-tiba
menjadi seniman. Mereka menggambar apapun yang bisa digambar di dinding itu, Ibu.
Lagi, asal kau tahu
Ibu, kebanyakan dari mereka menuliskan kerinduan kepada keluarga mereka, mereka
merangkai kata di dinding dan menggambar wajah wanita yang mereka sebut Ibu.
Lagi dan lagi, asal kau
tahu Ibu, aku sering mengumpat betapa bodohnya mereka, tak satupun dari kaum
demokratis itu mengirimkan surat kepada keluarga mereka. Mungkin, aku menjadi
orang pertama yang mengirim surat.
Aku
berdeham dan berpikir-mengingat seberapa pantas surat ini diantarkan oleh pria
berbaju jingga ke rahim Ibu. Kemudian melanjutkan, memaksa neuronku kembali
untuk menulis surat kepada Ibu.
Di rahim tanah yang
memiliki kadar asam seimbang, Bunga Lili mekar, Ibu. Ini merupakan isyarat
bahwa bulan Mei baru datang. Benar, ini tanggal 1 Mei- tanggal dimana Irian
Barat dibebaskan.
Lalu ditanggal-tanggal
berikutnya di Bulan Mei, kau akan menemukan banyak sekali sejarah dan politik-sejarah
dan politik selalu hidup berdampingan --sama seperti lem dan perangko di
suratku. Tanggal-tanggal revolusioner --begitu kawanku menyebutnya.
Hari Pendidikan akan merangkulmu
esok hari, Ibu. Benar, karena esok kita akan berjumpa dengan hari pendidikan.
Pendidikan? Bukankah tujuan utamaku menetap menjadi minoritas adalah pendidikan?
Pendidikan? Bukan politik tentunya. Pendidikan dan politik? Mereka tak dapat
hidup berdampingan-katamu, Ibu.
Aku
tertawa, memamerkan deretan gigi putih dan mengingat kembali saat aku bersawala
dengan Ibu. Ia melarangku untuk mengambil ilmu-ilmu politik --menjadi mata
pelajaran favorit-- selama kuliah. Katanya, politik --membahayakan.
“Politik
tak membahayakanku Ibu!” Kataku setengah berteriak. Aku perlu pelukan es batu
untuk menetralkan suasana hatiku saat ini. Bersawala dengan Ibu memang membakar
kalori dan bisa membuat tubuhku kurus dalam waktu singkat.
“Apa
yang kau dapat dari politik?” Ibu melotot dan menuangkan teh hijau-katanya, teh
hijau dapat meredam amarah-seperti peluru yang bergerak lamban dalam air. “
Humanisme?” katanya kemudian dan meneguk teh hijau dengan pelan.
“Demokrasi,”
kataku mantap, “ Noam Chomsky bahkan dalam bukunya menulis bahwa demokrasi
menghasilkan manusia sejati.”
“Hanya
itu?” Ibu mencibir dan meneguk teh hijau-kembali.
“Kebebasan-mungkin.”
Aku mengangkat bahu, memutar bola mata dan mempersiapkan kata-kata
kembali-karena hujan kata-kata bisa membanjirimu-kapan saja, “dan solidaritas.”
Ibu
tertawa dan mengacak rambutku, “ Dasar revolusioner!” katanya kemudian dan
berlalu pergi. Gurauan dari ibu diterjemahkan oleh otakku, mengisyaratkan bahwa
aku bisa mengambil ilmu politik sebagai mata pelajaran favorit di kuliah.
Aku
melirik dan merajut kata, kembali.
Aku senang kau bisa
menerimaku sebagai mahasiswa politik Ibu, bukan mahasiswa yang setiap harinya
harus berkutat dengan otak manusia, Ya, walaupun aku tahu bahwa mereka adalah
penerjemah yang hebat, tapi asal kau tahu Ibu-politik benar-benar membiusku.
Aku tergila-gila padanya.
Aku mendaftarkan diri
sebagai mahasiswa politik-tentu saja, kau yang menemaniku. Hanya orang-orang
cerdas yang mampu menjadi bagian dari politik, awalnya aku ragu --karena kau
tahu bahwa diluar sana banyak orang cerdas yang mendaftarkan diri menjadi
bagian dari politik. Kau menyemangatiku-- membiarkanku untuk menaklukkan
politik- walaupun sejujurnya aku tahu bahwa kau membenci politik.
Kau meletakkan bibirmu
di dahiku dengan lembut setelah mengetahui bahwa aku menjadi bagian dari
politik. Aku senang, tapi satu hal yang membuatku hampir gila : telepon seluler
tak boleh berkeliaran di asrama.
Globalisasi memang tak
dapat dihindari. Benar. Bahkan, asal kau tahu Ibu, aku tak bisa hidup tanpa
telepon seluler yang harus yang bertengger cantik di jariku.
Kau membiarkan air
mataku tumpah-membasahi kerah bajumu kemudian menyodorkanku filosofimu --Filosofi
teh dan gula. Kemudian matamu melirik teratai di kolam depan rumah, dan kau
menciptakan filosofi baru-- filosofi teratai.
“Aku pandai
beranalogi.” Katamu sambil menunjuk teratai. “Dia-teratai, bisa tumbuh dimana
saja. Dia cantik dan tak tenggelam.”
“Kau pernah melihatnya
di lumpur, Meta ?”
Aku mengangguk pelan,
kemudian mendengarkan celotehanmu tentang teratai.
“Ia tak pernah tenggelam.”
Lalu melanjutkan, “Teratai itu seperti pendidikan-
Kau tak perlu menelponku Meta, jatuhkan saja suratmu untukku di kotak berwarna jingga, dan pria berseragam jingga-pula, dengan senang hati mengantarkan suratmu itu. Aku akan senang menerima surat, Meta! Dulu, ayahmu juga sering mengirimkan surat. Surat cantik dengan hiasan teratai --Nympahea alba, sama seperti namaku- Albarita.”
Kau tak perlu menelponku Meta, jatuhkan saja suratmu untukku di kotak berwarna jingga, dan pria berseragam jingga-pula, dengan senang hati mengantarkan suratmu itu. Aku akan senang menerima surat, Meta! Dulu, ayahmu juga sering mengirimkan surat. Surat cantik dengan hiasan teratai --Nympahea alba, sama seperti namaku- Albarita.”
Aku tersenyum, menyeka
mataku dengan ujung baju, dan mengunci gudang air mata.
Aku
melirik keluar, menyaksikan teratai yang masih berdiri kokoh di bulan Mei
walaupun akhir-akhir ini, hujan tak mau berbagi air dengan teratai di kolam.
Kau tahu Ibu, aku ingin
agar Mei cepat berakhir. Bukan, bukan maksudku untuk berjumpa dengan Juni
terlalu dini, Tapi aku ingin berjumpa dengan 29 Mei --ia tanggal yang sempurna.
29 Mei akan
mempertemukan kita ibu. Menemukan orang-yang-membenci-politik dan orang-yang-mencintai-politik.
Sempurna! 29 Mei juga mempertemukan teman-teman politikku dengan keluarga
mereka. Aku mendengar ketika temanku meletakkan bibirnya di telingaku dan
berbisik, “ Kita akan bersulang dengan keluarga, Meta. 29 Mei adalah hari
Keluarga dan semua orang disini punya hak untuk memandang retina ibu dan ayah
mereka. Kita akan pulang !”
Aku
tersenyum dan menuliskan beberapa kalimat lagi.
Kau tak perlu membenci
politik, Ibu. Politik ada disekitar kita, demokrasi adalah salah satu bagiannya.
Kau tahu, Ibu? Kita sering berdemokrasi di meja bundar yang kita sebut meja
makan. Berdemokrasi tentang menu sarapan. Tentang siapa yang akan membersihkan
toilet. Juga, yang paling menyenangkan adalah ketika kita berdemokrasi tentang
tempat liburan. Kau membiarkanku dan ayah untuk berpendapat sampai kata “sepakat”
keluar dari mulut kita.
Kau tahu Ibu? Kau
Istimewa. Bahkan filosofi teh dan gula, serta filosofi teratai-mu, adalah
filosofi terbaik dibandingan dengan filosofi manapun.
Aku
memamerkan senyum, dan menulis kalimat,
Resiprokal kan ? Bukan
paradoks ?
Ditulis dengan cinta,
dari cinta, dan untuk cinta.
Mentari Albar ( Meta)
Aku
menciumi surat itu berkali-kali sebelum benar-benar ku jatuhkan di kotak
jingga.-berharap bahwa pria berbaju jingga dapat mengantarnya segera, dan
bergumam, “ Aku akan pulang.”
---------------------------------
BIODATA PENULIS
An'nisa Safitri atau Aca Stammler adalah Mahasiswi Universitas Indonesia jurusan Farmasi. Ia merupakan Duta Bahasa Bangka Belitung tahun 2019. Memiliki minat yang tinggi terhadap literasi.
0 komentar