Monster of the Rain
Maret 06, 2020
Oleh: Efa Devia Permatasari
(Asisten Laboratorium Sastra Inggris UBB)
Waktu
itu hujan turun, Aku bermain air sendirian di dapur, tempat air selalu
menggenang di lantai dari atap yang bocor. Ku pasang posisi tengkurap dengan
telapak kaki menyentuh dinding papan dan menekuk kedua kaki serta tanganku
seperti kucing. Aku sudah siap untuk meluncur di atas lantai dengan kekuatan
dorongan dari dinding papan yang tidak terlalu bagus lagi ini.
Usiaku
saat itu masih belia, bahkan Aku belum masuk sekolah. Namun, ada kennangan yang
terbekas dalam pikiran anak kecil itu. Sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat
oleh anak seusianya saat itu. Sungguh, mengerikan sekali kejadian yang ku lihat
saat masa kecilku waktu itu.
Bermain
seluncuran di atas lantai dengan genangan air hujan di dalam rumah merupakan
hal yang sangat Aku senangi semasa itu. Tidak ada saudara maupun teman sebaya
yang saat itu bermain denganku karena rumah kami jauh dari rumah tetangga
lainnya. Bermain sendiri bukanlah hal yang aneh bagiku. Kadang Aku berbicara
dengan teman-temanku. Ada Simba si kucing berwarna hitam dan putih yang sangat
Aku sayangi bahkan terkadang Aku berbicara kepada angin seolah-olah ada orang
atau sesuatu yang bisa berbicara di depanku.
Namaku
Galery, sekarang Aku berusia 19 tahun. Seorang mahasiswa yang sama seperti pada
umumnya. Hanya saja, ada keanehan di dalam diriku sendiri. Untuk datang ke
psikiater adalah keinginanku. Aku ingin sembuh dari masa laluku yang kelam dan
menyakitkan. Namun ada dua hal yang membuatku menunda-nunda untuk datang.
Pertama, Aku tentu harus menyiapkan biaya untuk konsultasi yang lumayan
harganya bagi mahasiswa yang kurang mampu sepertiku. Kedua, Aku sempat berpikir
bahwa rasa trauma dan gangguan kejiwaan seseorang tidak dapat sembuh hanya
dengan mendengar nasehat serta obat-obatan yang tidak ku ketahui kandungannya. Jadi,
sampai saat ini Aku masih berada dalam pelukan sang kenangan buruk dari masa
lalu.
Hampir
setiap hujan turun, Aku selalu melakukan hal yang sama. Bermain seluncuran di
atas lantai di dalam dapur rumahku. Semua ini rutin ku lakukan, apalagi jika
ayah ada di rumah.
“Nah,
hujan, main air sana jangan ke kamar kalau sudah selesai main, nanti basah”,
kata ayahku.
“Iya
Yah”, dengan polos dan tanpa berpikir apapun.
Hal
itu selalu dikatakan oleh ayahku, saat hujan turun Aku harus bermain dan tidak
boleh datang ke kamar sampai hujan berhenti. Aku sungguh masih polos. Kalian
akan memikirkan hal yang sama, apa yang ada di dalam pikiran seorang anak yang
belum genap berusia 5 tahun.
Suatu
ketika hujan turun, Aku sedang bermain seperti biasanya. Ayahku tetap
menggingatkan ku untuk tidak kemana-mana dengan alasan pakaian basahku akan
membuat basah lantai lainnya. Namun, hujan di hari itu berbeda dengan hujan
sebelumnya. Petir menjadi lebih menyeramkan dari pada biasanya.
Kudengar
suara-suara pepohonan yang saling bergesekkan oleh angin yang kencang. Atap
seng rumah kami pun berhempas satu sama lain. Kilat-kilat lebih menyilaukan,
awan sangat gelap. Suara gemuruh petir memekakkan telinga. Simba lebih panik
dariku, ia berlarian kesana-kemari mencari tempat yang aman dan tidak
terjangkau oleh petir. Suaranya seperti suara monster yang mengamuk seperti di
film-film Power Rangers atau Ultraman. Aku terdiam kaku, saat sebuah petir
begitu keras bersamaan dengan kilat terlihat jelas di depan mataku saat ia
menyambar sebuah pohon di belakang rumah yang dapat ku lihat dari celah-celah
dinding. Ku peluk kedua lututku, kedua tanganku menutup kedua telingaku dengan
menekannya sekuat mungkin hingga suara petir tidak terdengar jelas lagi.
Ketakutanku
semakin menjadi-jadi ketika petir semakin mendekatiku seakan berkata,
“Ayo bermain hujan dengan ku”
Petir
menyambar ke lantai, tepat di depanku yang membuat jantungku berhenti untuk
berdetak sesaat. Aku masih tetap di sana karena tidak sanggup untuk melangkah menghampiri
orangtuaku, bahkan berbicara pun Aku tidak mampu. Hal yang paling membuatku
sedih sekaligus bertanya-tanya adalah, kenapa orang tuaku tidak segera
mencariku ke dapur dan membawaku bersama mereka atau menjagaku dari monster
hujan itu.
Aku
mulai menggigil dan menangis. Setelah beberapa saat Aku memberanikan diriku
untuk menuju ke ruangan lainnya. Rumah ku tidak besar, dan itupun rumah
kakekku. Hanya ada ruangan seperti rumah sederhana pada umunya. Ada 2 kamar,
satu ruang tamu, dan dapur, tidak ada toilet sama sekali. Aku seakan lupa akan
perkataan ayahku, bahwa Aku tidak boleh datang ke kamar sebelum ayah dan ibuku
keluar dari kamar dan ibuku memandikanku.
“Simba
jangan takut, Simba kucing yang berani,” kataku seraya melihat Simba yang
bersembunyi di bawah rak piring kayu yang sederhana.
“Meow,
meow,” Simba seakan menjawab apa yang ku katakan.
Saat
Aku menuju ke kamar yang tidak ada daun pintunya, Aku melihat sesuatu yang unik
dan aneh bagiku yang pada saat itu belum pernah melihatnya. Ayahku di atas
ibuku, mereka menyatu dan penuh dengan keringat. Aku bingung dan hanya terdiam,
mereka tidak menyadari kehadiranku. Aku ingin memanggil ibuku, tapi Aku masih
penasaran dengan apa yang ku lihat. Apakah ayah dan ibuku sedang bermain, tapi
kenapa mereka tidak mengajakku dan membiarkanku ketakukan sendirian saat ada
petir yang kuat seperti tadi.
“Bukkk”
asbak rokok mendarat di kepalaku. Aku tidak tahu kenapa Asbak tersebut harus mendarat
di kepalaku. Aku terduduk dan menangis.
“Diam
kau, kalau tidak diam ku bunuh kau” ya begitulah kata ayahku.
Ayahku
memang seorang yang pemarah dan ia sama sekali tidak menginginkan kelahiranku.
Ia berharap untuk memiliki anak laki-laki sehingga dia selalu berlaku buruk
kepadaku.
Aku
pun berlari ke dapur dan menangis di sana menyatu dengan suara hujan yang masih
merintih. Sejak hari itu, hujan merupakan hal yang mungkin membuatku trauma.
Karena hujan itu membuatku memberanikan diri untuk menemui ibuku sebelum ibuku
sendiri yang membilasku dengan air hangat. Andaikan waktu itu Aku tetap di
dapur dan menunggu. Aku tidak akan dimarahi, Aku menjadi anak yang nakal di
hari itu.
Tidak
hanya sekali itu saja Aku melihat ayah dan ibuku sedang bermain di atas tikar
anyaman. Suatu sore Aku pulang dari bermain kerumah temanku yang jaraknya cukup
jauh untuk seorang anak kecil. Saat itu Aku pulang karena awan terlihat gelap
dan sepertinya hujan akan turun. Aku tidak ingin ketika Aku pulang dan bajuku
basah, ayah tidak akan mengijinkanku untuk ke kamar lagi. Aku berjanji untuk
tidak menjadi anak yang nakal lagi pada diriku sendiri.
Perjalanan
yang cukup membuatku lelah dan harus berlari karena gerisimis telah datang dan
titik-titik air terlihat jelas di bajuku yang berwarna kuning cerah.
Sesampainya di rumah, Aku masuk melalui pintu belakang seperti biasanya dan ku
dapati Simba sedang tertidur pulas di atas kursi plastik milik kami. Ku
elus-elus bulu Simba yang halus dan ku cium keningnya dengan gemas.
Aku
pulang tepat sebelum hujan turun, bajuku tidak basah dan hari ini Aku sednag
tidak ingin bermain seluncuran. Sesekali tidur di kamar saat hujan pasti
menyenangkan, pikirku.
“Ahh
hah hah hah, aduhh” seperti suara ibuku.
Aku
penasaran dan segera menuju ke kamar, lalu melihat ayah dan ibuku bergaya
seperti sebelumnya. Aku hanya terdiam dan melihat mereka dengan polos. Ayahku
melihatku lagi, dan kali ini melempariku dengan ikat pinggang. Apa salahku,
kenapa Aku tidak boleh melihat mereka melakukan itu, kenapa mereka tidak
megajakku. Aku pun ingin tahu, apakah dengan tidak mengenakan pakaian sehelai
pun dan saling dalam posisi berpelukan disaat hujan adalah hal yang lebih
menyenangkkan dari pada bermain seluncuran disaat hujan. Mereka jahat, tega
mengusirku dari kamar saat Aku ingin berada di kamar saat sedang hujan. Kamar
satunya lagi adalah sebuah gudang, yang tidak mungkin Aku tempati jika Aku
ingin selamat dari tikus-tikus dan kecoa-kecoa di dalamnya.
Cerita
ini masih berlangsung hingga Aku duduk di bangku SMP. Namun, tidak hanya hujan
yang membuatku di lempari dengan barang-barang lagi oleh ayahku. Bahkan di
pertengahan malam pun Aku sering melihat mereka saling berkeringat meskipun
tanpa menggenakan pakaian sehelai pun. Sangat menyakitkan bagiku untuk
mengingat masa lalu yang kelam, kenangan yang seharusnya tidak ada di dalam
pikiran seorang anak kecil yang belum genap berusia 5 tahun pada saat itu. Aku
masih ingin menceritakan kelanjutannya agar memori gadis kecil itu dapat
tertuang ke dalam tulisan-tulisan yang melegakan.
BIODATA
PENULIS
Efa Devia Permatasari, seorang mahasiswi Sastra Inggris Universitas Bangka Belitung yang gemar membaca komik dan cerita gambar. Selain itu menjadi seorang mahasiswi, Ia juga merupakan Asisten Laboratorium Sastra Inggris. Kini, Ia sekarang bermukim
di Desa Balun Ijuk, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka,
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
0 komentar