Left Letter
Maret 01, 2020
Oleh: Kurdeniansyah
(Bujang Intelegensia Bangka Tengah 2019 dan Alumni Universitas Pasundan)
Aku membiarkan cinta dalam pekat diam yang katanya berbahasa. Membiarkan ia
tumbuh dalam kelam. Di tempat yang tak seorangpun tahu sekalipun tanah. Ia
tumbuh dengan sinar senyummu walaupun sering mendung. Bahagiamu sekalipun sering
rebut. Siangmu sekalipun hujan. Tak seorangpun yang dapat menangkapmu seperti
cahaya untuk tumbuhan hijau.
Malam selalu datang dan rasa perlahan tumbuh. Apa yang lebih indah selain melihat suburmu tumbuh dalam cahaya bintang? Kau ialah malam, selalu datang, sehabis senja. Rasi bintang selalu tepat melukis senyum. Kau ada disana.
Bersama angin, aku duduk. Menikmati tamparan halusnya mengenangmu. Malam kemudian angin. Sepaket dengan tawa yang tak pernah pudar. Manis yang tak pernah habis. Sentuh yang tak pernah hilang. Lalu sendu yang selalu teduh.
Luka pernah sesembuh ini. tapi tidak dengan pisau yang sama. Alkohol selalu menjadi obat. Mematikan resah lalu memabukkan surga. Mencintai alkohol lalu melupakan luka. Sesaat yang begitu indah. Bukankah cukup untuk dunia yang katanya sesaat ini?
Tertidur aku dalam tenggak gelas penuh dosa. Mencintai adalah dosa. Bagimu, mencintai ialah segala padu yang lembut dan menyenangkan. Surga dalam bentuk kapas putih yang berisikan angsa angsa penuh cinta. Aku cinta caramu mencintai. Begitu damai untuk jiwa jiwa gelap yang sedang resah dan dosa. Sepertiku.
Lalu bagaimana tentangmu? Tidakkah tawamu adalah bisu tanpa jawaban? Berbunyi tapi paling sunyi. Telingaku tidak sampai kepada hati bagian mana kau benar benar menaruh kalimatku disana. Apa aku terlalu egois membiarkan diam melukis tentangmu tanpa pernah kamu lihat? Membiarkan aku bersama gelap saja yang tahu apa yang terlukis? Kurasa kau terlalu putih untuk diam yang selalu kelam. Matamu terlalu berbinar sehingga hitamku menghilang tidak sampai. Kepadamu lukisan kelam ini, matamu menghilang pada romantisme tiada kelabu yang ku tumpah. Cahaya matamu menyapu habis tanpa sisa.
Hari menyentuh hari lagi. Matamu, ku harap menjadi binar yang akan menerangi kelam yang terlalu pekat. Jangan habiskan. Sisakan gelap yang akan kau temui ketika kau menutup binar yang ku sebut mimpi. Temukan aku. Temukan lukisan kelam yang pernah tersapu oleh binarmu. Semoga cukup
Malam selalu datang dan rasa perlahan tumbuh. Apa yang lebih indah selain melihat suburmu tumbuh dalam cahaya bintang? Kau ialah malam, selalu datang, sehabis senja. Rasi bintang selalu tepat melukis senyum. Kau ada disana.
Bersama angin, aku duduk. Menikmati tamparan halusnya mengenangmu. Malam kemudian angin. Sepaket dengan tawa yang tak pernah pudar. Manis yang tak pernah habis. Sentuh yang tak pernah hilang. Lalu sendu yang selalu teduh.
Luka pernah sesembuh ini. tapi tidak dengan pisau yang sama. Alkohol selalu menjadi obat. Mematikan resah lalu memabukkan surga. Mencintai alkohol lalu melupakan luka. Sesaat yang begitu indah. Bukankah cukup untuk dunia yang katanya sesaat ini?
Tertidur aku dalam tenggak gelas penuh dosa. Mencintai adalah dosa. Bagimu, mencintai ialah segala padu yang lembut dan menyenangkan. Surga dalam bentuk kapas putih yang berisikan angsa angsa penuh cinta. Aku cinta caramu mencintai. Begitu damai untuk jiwa jiwa gelap yang sedang resah dan dosa. Sepertiku.
Lalu bagaimana tentangmu? Tidakkah tawamu adalah bisu tanpa jawaban? Berbunyi tapi paling sunyi. Telingaku tidak sampai kepada hati bagian mana kau benar benar menaruh kalimatku disana. Apa aku terlalu egois membiarkan diam melukis tentangmu tanpa pernah kamu lihat? Membiarkan aku bersama gelap saja yang tahu apa yang terlukis? Kurasa kau terlalu putih untuk diam yang selalu kelam. Matamu terlalu berbinar sehingga hitamku menghilang tidak sampai. Kepadamu lukisan kelam ini, matamu menghilang pada romantisme tiada kelabu yang ku tumpah. Cahaya matamu menyapu habis tanpa sisa.
Hari menyentuh hari lagi. Matamu, ku harap menjadi binar yang akan menerangi kelam yang terlalu pekat. Jangan habiskan. Sisakan gelap yang akan kau temui ketika kau menutup binar yang ku sebut mimpi. Temukan aku. Temukan lukisan kelam yang pernah tersapu oleh binarmu. Semoga cukup
BIODATA PENULIS
Kurdeniansyah sebut saja Dodo merupakan pengelana tahap pemula yang
menjadikan validasi atas dirinya sendiri sebagai sosok yang ia imajinasikan.
Berbekal ilmu komunikasi di sebuah Universitas Pasundan –kampus swasta kesayangan
di Bandung--, beliau menjalani hidup yang menyenangkan sekaligus bermakna.
Memiliki hobi di bidang fotografi dan membaca buku yang sedikit 'nyeni'
diharapkan akan membawanya menjadi sebuah pencerita yang baik melalui film agar
hobi yang ia agungkan tidak sia sia.
.
0 komentar