Limbang
Februari 24, 2020
“Mak aku nak makan ayam.”
Terngiang suara si kecil Yusuf yang mungkin sekarang menunggu emaknya pulang
sembari bermain mobil-mobilan dari pelepah pisang di amben rumah. Bocah yang
senang berceloteh tersebut, wajahnya pasti belepotan pupur sehabis mandi sore. Sudah tentu ayuknya, Fatimah bersusah payah memandikan si bungsu yang sedang
senang-senangnya berlari –bentuk selebrasi pada dunia yang sudah halal ditapaki
bagi seorang balita.
Minah
bergegas membereskan alat tempurnya berupa ember, karpet, dan piring plastik
tersebut. Tak lupa sekaleng susu dengan tiga perempatnya terisi pasir hitam
diletakkan di dasar ember agar tak tercecer kemana-mana. Ia tebarkan senyum
pamit pada perempuan lain yang masih asyik mengobok-obok pasir dan air. Tak
lupa lambaian pada segerombol laki-laki dengan pacul dan selang di hulu sakan.
“Cepatnya Minah?”
“Takut Yusuf menangis di rumah.”
“Ayuknya kan ada.”
“Aih,anak remaja baru terbang klentitnya, lengah sedikit lempus ia ke hutan mencari Karamunting.”
Minah berlalu. Diperbaikinya letak terindaknya
lalu ia berjalan menenteng ember dengan
menyisaan bisik-bisikan dan tatap-tatapan.
Begitulah
kebiasaan ibu-ibu baik tua maupun muda setiap sorenya di Desa Muntabak.
Mengumpuli pasir-pasir yang jatuh dari sakan.
Berharap barang segenggam pasir legam dengan sedikit manik kecoklatan untuk
ditukar dengan beberapa lembar rupiah. Lembar rupiah yang nantinya akan
disisipkan ke sarung bantal dan diambil setiap saat dibutuhkan. Lalu,
lembar-lembar rupiah itu akan ditukar dengan semen, kayu palang, pasir, dll.
Tak ada yang lebih membanggakan dari punya rumah bagus dengan teras luas yang
mampu menampung semua sanak keluarga di hari lebaran.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi Minah. Bagi Minah, Yusuf adalah
permata hati yang harus terus diasah agar suatu hari kilaunya mampu menyinari
rumah mereka yang suram. Yusuf akan menjadi juru selamat yang akan memutus mata
rantai kemiskinan. Ia akan tumbuh menjadi kaum intelek dengan segudang
pengetahuan dan dari gudang tersebut didapatkan beragam siasat untuk mengubah
nasib. Bukannya Minah kurang bersyukur, tapi ia terlalu lama bekerja keras.
Selepas 40 hari si bungsu lahir, suaminya Nurdin --buruh tambang timah darat--
tertimpa pasir dan menambah daftar warga yang naas karena pasir stannum ini. Oleh karena itu, di bulan ketiga pasca meninggalnya Nurdin, Minah
menyingsingkan kain dan kausnya serta berjalan setengah mengangkang ke camui.
(iii)
“Mak aku nak kawin dengan Ko Alian.” Suatu senja
si sulung Fatimah bersimpuh di kaki Minah yang sedang duduk sambil mendengarkan
dangdut dari radio kesayangannya. Minah
diam. Sejujurnya ia tak pernah punya masalah dengan orang Hokian di desanya.
Mereka hidup berdampingan dan damai. Bahkan sewaktu anak-anaknya masih bocah,
Minah sering mengutang pada mamanya Alian, juragan toko yang letak rumahnya
hanya terpisah beberapa rumah. Namun, tetap saja sekali kau lahir sebagai anak
suku melayu, maka selamanya kau melayu. Sekali kau lahir muslim maka selamanya
kau tetap muslim.
Bukan main
terguncang keimanan dan hatinya Minah. Berbagai macam peluang melesat ke
atap-atap kepalanya. Bagaimana jika nanti cucunya lahir dan memilih iman yang
beda dengan neneknya? Bagaimana Minah bisa mendoakan Fatimah bin Nurdin yang
nanti akan berganti nama menjadi Atim, Amah, atau Afat? Apakah ia harus ke
klenteng dan mengikuti aturan berdoa di sana hanya untuk mengharap keringanan
dosa bagi si sulung?
“Aku tidak
menyekolahkanmu hingga SMK hanya untuk menjadi menantu orang Hokian itu.” Minah
memandang kosong jauh ke depan melewati kisi jendela. Di balik pohon rambutan
rapiah di halaman, Alian mencuri dengar sambil harap-harap cemas perihal Minah
akan memberi restu atau tidak.
“Mak, maaf.” Bulir-bulir air mulai terbit di kedua bola mata cokelat Fatimah. Ia menciumi telapak kaki ibunya. Menyisipi lekuk-lekuk surga yang barangkali tak akan ia temui lagi bila jadi menikah dengan si pemuda Hokian. Minah bangkit dari duduknya dan berjalan ke dapur. Jam burung kakaktua berbunyi dengan kedua jarumnya menunjuk angka tiga dan dua belas. Fatimah tahu ibunda yang berbagi dapur dengannya hingga berbelas tahun itu akan mengambil ember dan perkakas lainnya. “Kemana hendak Emak pergi?” Fatimah mencoba berbasa-basi memecah hening yang tercipta sekian menit.
“Mak, maaf.” Bulir-bulir air mulai terbit di kedua bola mata cokelat Fatimah. Ia menciumi telapak kaki ibunya. Menyisipi lekuk-lekuk surga yang barangkali tak akan ia temui lagi bila jadi menikah dengan si pemuda Hokian. Minah bangkit dari duduknya dan berjalan ke dapur. Jam burung kakaktua berbunyi dengan kedua jarumnya menunjuk angka tiga dan dua belas. Fatimah tahu ibunda yang berbagi dapur dengannya hingga berbelas tahun itu akan mengambil ember dan perkakas lainnya. “Kemana hendak Emak pergi?” Fatimah mencoba berbasa-basi memecah hening yang tercipta sekian menit.
“Kau akan hidup
berkecukupan dengan sembako tak putus di rumah mertuamu nanti.” Minah membawa
alat tempurnya dan terus berjalan ke teras. “namun adikmu di ibukota sana masih
membutuhkan aku.”
Senja sore ini
beku. Minah terus berjalan menolaki rumahnya. Ia tidak acuh dengan keberadaan
Alian, calon menantunya yang tidak sunat itu. Alian mencoba sebisa mungkin
tersenyum pada perempuan paruh baya tersebut. Namun, Minah tahu pasti dan sudah
mendeklarasi perang blok kiri-kanan mulai sore ini.
(iv)
“Mak aku nak pulang kampung bulan depan.” Kata
Ucup lewat pesawat telepon yang baru dipasang beberapa bulan lalu
“Syukurlah
nak, emak kangen sama Yusuf, bujang emak, kebanggaan emak.” Binar mata tua
Minah terbit di sepasang bola matanya.
Yusuf
alias ‘anak bujang kebanggaan emak’
beberapa waktu lalu menamatkan sekolah strata 1 nya di fakultas top seantero
Indonesia raya. Minah memilih untuk tak datang di acara wisuda anaknya. Sedih
memang, tapi potret bahagia itu bisa dipatri dalam bingkai yang tergantung di
dinding ruang tamu, bukan? Lebih baik mengalokasi biaya penerbangannya untuk
biaya kepulangan si anak bujang yang akan mengabdi pada tanah kelahirannya.
Selama 5
detik waktu terstilasi dengan kebanggaan Minah pada dirinya sendiri. ‘Lihat
dunia, aku ibu yang hebat. Anak yang ku sekolahkan dengan tetes-tetes
keringatku akan menjadi orang hebat di pulau ini. Ia akan membangun Muntabak,
Bangka, Indonesia, Duni….
“Mak kenapa diam?”
suara di ujung telepon menghentikan detik yang beku dan segala macam wacana
yang bergulir di kepala Minah.
“Aih,
tidak apa-apa nak. Mak hanya…”
“Mak
sudah dulu ya. Yusuf harus bersiap-siap mengurus berkas pekerjaan.
Sudah diminta bos yang di Bangka.”
Sudah diminta bos yang di Bangka.”
“Baik-bak nak, kamu harus jaga
kesehatan ya. Emak sayang Yusuf.”
Tut..tut..tut.
Telepon putus.
(v)
“Mak aku nak
berangkat kerja.” Yusuf mengelap sepatu kerjanya. Sebulan belakangan Minah
punya rutinitas baru ; menyiapkan kebutuhan seorang lelaki yang ia cintai di
pagi hari. Layaknya anak yang terlempar ke kehidupan ibukota selama beberapa
bulan, Yusuf pun berperilaku bak anak kota. Ia menjadi suka makan sepiring mie
dengan saus tomat, menggerutui ATM yang jaraknya 20KM dari rumah, dan menyindir
anak lelaki yang tiap malam bermain gaple di sebelah rumahnya
“Hati-hati
anakku.” Kata Minah dengan semangat menciumi kening Yusuf yang
akan selalu menjadi bayi besar di matanya.
akan selalu menjadi bayi besar di matanya.
“Assalammualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Hidup ini sangat indah, apalagi
yang kita sangsikan? Batin Minah yang dengan wajah riang menyeruput teh
hangatnya. Barangkali aku boleh meluangkan dua jam untuk menikmati senti demi
senti mentari yang menaiki ufuk. Lalu Minah duduk dalam khidmat dengan mahfum
seolah-olah sedang bertasbih pada Tuhan. Matanya pejam dengan sungging senyum
merekah. Kursi goyangnya ia ayunkan. Ia masih terus mengheningkan cipta hingga
ayunan kursi tersebut kembali pada poros nol alias diam.
“Mak, mak Minah ada razia TI !” sayup-sayup teriakan tetangga mendekat dan menembusi sekat dinding. “mak, mak Minah.”
“Mak, mak Minah ada razia TI !” sayup-sayup teriakan tetangga mendekat dan menembusi sekat dinding. “mak, mak Minah.”
“Mak
Minah TI-mu kena razia.” Minah diam.
“Mak,
Mak Minah para aparat keparat itu mulai menuang bensin.”
“Mak, Mak Minah mereka mulai memantik korek.”
“Mak,
Mak Minah mereka membakar mesin TI yang kau beli dari tabungan berpuluh
tahun.”
“Mak, Mak Minah mereka memorak-morandakan
kem tempat kau mengaso.”
“Mak,
Mak Minah tampaknya kami kenal siapa yang memberi komando.”
“Mak, Mak
Minah rupanya dia anak kebanggaanmu.”
“Mak, Mak Minah
itukah Yusuf?”
Minah dalam tidur siang sambil menikmati putaran rol-rol mimpi. Yusuf anakku
sebulan kerja di Dinas Kehutanan hari ini naik pangkat, gumamnya dalam buai.
(ii)
“Mak aku nak kuliah
ambil ilmu sosial.” Kata Fatimah suatu pagi.
“Tak
perlu anak puan sekolah tinggi apalagi ambil ilmu yang tak bisa kasih makan.”
“Mak aku nak kuliah ambil
ilmu kedokteran, ekonomi, atau kehutanan.” Sahut Yusuf
sembari menenteng ijazah
yang baru ia dapat pagi ini.
“Dengan
senang hati bujangku. Mari kita urus pendaftarannya.”
----------------------------------------------------------------------------
(Limbang) Aktivitas menambang timah yang jatuh dari tempat pencucian biasanya timah yang didapat kualitasnya lebih rendah daripada timah yang tidak jatuh
(Nak) Mau, hendak
(Pupur) Bedak
(Ayuk) Panggilan kepada kakak perempuan
(Sakan) Tempat pencucian pasir tima
(Terindak) Topi khas Bangka yang digunakan saat bekerja
(Lempus) Pergi
(Camui) Lokasi penambangan timah
(Bujang) Panggilan kepada anak laki-laki
(Kem) Pondok di sekitar lokasi penambangan
BIODATA PENULIS
Windy |
0 komentar